Saturday, May 24, 2014

Proyek Kroyokan 2.3

" Apa yang Amung lakukan di Malang " 
Sebaris kalimat yang sedari tadi menganggu pikiran Rendy. Semakin di pikirkan semakin Rendy tak mengetahui jawaban atas pertanyaannya.
" ah sudahlah bukan urusanku " sambil kembali berkutat pada pekerjaannya, tapi sayang semakin dia larut dalam pekerjaannya semakin dia tidak bisa konsentrasi.
Dan akhirnya Rendy menyerah pada kegundahannya, di hempaskan tubuhnya ke tempat tidur yang berada di kamarnya, sambil menatap atap kamarnya Rendy masih berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang menari - nari sedari tadi dalam benaknya.
sebuah nada dering membuatnya terlonjak, dilihatnya nama Anggun muncul di handphonenya.
" iya sayang "
Percakapan dengan Anggun membuat Rendy beralih dari pikirannya.
-----------------------------------------------
Bagaimana aku harus keluar dari pusara ini, aku tak mampu melawan hanya mengikuti arus yang tercipta.
" Ari " namanya selalu muncul di benak Melia, ada rasa sesak bercampur dengan penyesalan mendalam. Tak terasa sesuatu yang hangat mengalir di pipi melia yang berasal dari sepasang mata yang saat ini sedang lelah menatap sebuah sosok berkacamata di dalam bingkai foto yang bertengger di meja yang terletak di samping tempat tidurnya.
Di letakkanya bingkai itu di tempat semua sambil menaikkan kedua kakinya di tautkannya kedua tangannya melingkar di kedua kakinya sambil membenamkan wajahnya di antara kaki yang kini di peluknya.
Selintas wajah amung berkelebat di pikirannya membuatnya mengangkat kepalanya.
" mengapa dia kau hadirkan kembali Tuhan, membuka luka lama yang masih belum kering, aku masih belum mengetahui alasan dia membatalkan rencana pernikahan kita secara sepihak " 
---------------------------------------------------
ingin rasanya mendatangi Amung dan mempertanyakan alasan dia sering datang kemari, tapi egoku masih belum mau menanyakan itu kepadanya.
" mel.. kamu masih ada di sini kan " lambaian tangan amung menyadarkanku 
" hah " cuma kalimat itu yang muncul.
" aku ngajak kamu makan siang, kamu ada waktu gak? "
" eh.. aku mau makan siang bareng Anggun sama Rendy " 
" Boleh aku gabung dengan kalian ?"
tak punya alasan untuk menolaknya, akhirnya melia mengangguk 
--------------------------------------------
perasaan canggung kembali menelusup di benak melia, sembari menunggu Anggun dan Rendy akhirnya melia memutuskan untuk membeli capucino hangat yang menjadi minuman faforitnya.
" masih suka capucino ?" sebuah pertanyaan akhirnya meluncur dari mulut Amung.
Melia hanya mengangguk.
" Mel aku ingin meneruskan rencana pernikahan kita yang sempat terputus dulu, maaf kalau aku egois untuk memintamu kembali kepadaku "
Melia langsung menoleh kearah Amung yang saat itu sedang melihat ke arah Melia dengan tajam. Amung memang sosok orang yang selalu berbicara to the point tanpa ada basa basi. 
Melia hanya bisa melihat tanpa bisa berkata apapun, seperti ada yang menyangkut di tenggorokannya.
" aku mengerti kamu pasti akan terkejut dengan permintaan ini, tapi tolong kamu pikirkan permintaanku ini " sembari melangkah pergi meninggalkan Melia yang saat ini sedang syok atas pernyataan Amung yang memintanya untuk kembali.
Saat ini otak Melia serasa benar - benar tak berfungsi, otak ini seperti sedang menyusun kata-kata yang cocok untuk menggambarkan apa yang sedang menimpanya.
Seakan tidak kuat lagi menahan gejolak yang sedang bergemuruh, Meliapun berlari ke toilet dan menangis sejadinya berharap air mata yang di keluarkan membawa serta penat yang dia rasakan.
" Tuhan apa maksud dari semua ini " hanya sebuah kalimat ini yang terlontar dari benak Melia.

Tuesday, February 11, 2014

Proyek Kroyokan 2.2

“… Amung?”
“Hai Mel, apa kabar?” Amung mengulurkan tangan, ragu-ragu Melia menyambut salam Amung.
“Ada keperluan apa?” tanya Melia tanpa berbasa-basi.
Mendapat tanggapan Melia yang tidak diduganya, Amung mengangkat sebelah alisnya, “Aku kebetulan ada tugas di Surabaya. Denger-denger dari anak-anak yang di Jakarta, kamu punya café sekaligus bookstore di Malang. Jadi aku sengaja mampir ke sini…” Amung hampir menambahkan kata ‘problem?’ dengan nada sarkas khas yang biasa dipakainya, namun melihat wajah Melia berubah keruh, ia mengurungkan niat itu.
“Oh… sengaja mampir? Kabarku baik, seperti yang kamu lihat aku sibuk sekarang. Kalau kamu ngga ada keperluan lain, kamu bisa masuk dan baca-baca buku di sini sambil menikmati kopi. Karena aku harus melakukan beberapa hal di lantai 2, kamu tahu kan, urusan kerjaan.”
Sebelum Amung sempat mengatakan sesuatu atau menahan Melia lebih lama lagi, dia hanya bisa membiarkan Melia pergi dan bergegas masuk seolah-olah Melia ingin membuat jarak sejauh mungkin darinya.

***

Selama beberapa hari berikutnya Melia terpaksa bermain ‘kucing-kucingan’ dengan Amung, karena pria itu setiap hari masih berusaha untuk menemuinya lagi. Seperti pagi tadi, Melia mengendap-endap di belakang Amung yang sedang terpaku menghadap sebuah pigura yang berisi tulisan:

Yes. I am an illusion. Not real. Sooner or later you will forget about me.
Illusion will never be something real. Like a shadow, which will never get a body.
-Ari Rahardian-

Sejenak Melia lupa kalau dia sedang berusaha menghindar dari Amung ketika Amung membalikkan badan dan bertanya, “Siapa Ari Rahardian, Mel? Sepertinya dia yang memberi kehidupan di café ini. Dari kemarin aku lihat banyak kutipan-kutipan karyanya yang dipajang di sini.”
Melia menghela nafas panjang, “Ari… dia sahabatku yang sudah meninggal, yang punya cita-cita memiliki café sekaligus bookstore, dan aku di sini membantunya mewujudkan cita-citanya.”
Mereka berdua terdiam, ada jeda cukup lama sebelum Amung menambahkan kepada Melia, “Kamu ga keberatan kan, kalo aku melihat-lihat di sini lebih lama lagi? Aku suka pada suasana café dan koleksi buku-bukunya.” Melia seperti tersadar dari lamunannya, “Apa? Oh, silahkan saja. Tapi maaf aku tidak bisa menemani lama-lama. Aku benar-benar sedang banyak kerjaan sekarang.”
No problem,” kata Amung kemudian.

***

“Menurutmu, pesan gedung untuk acara pernikahan itu sebaiknya kapan?” Anggun bertanya kepada Melia sembari membolak balik majalah edisi khusus yang memuat segala hal tentang persiapan pernikahan. Ketika dilihatnya Melia seperti tidak mendengar kalimatnya barusan, dia memanggil Melia dengan suara agak keras, “Mel? Melia hei Meliaa…!” kali ini dikibaskan tangannya di depan Melia.
Melia lagi-lagi seperti tersadar dari lamunan, “Eh… apa? Pesan catering? Di si…” kata-katanya terpotong oleh Anggun, “Gedung Mel, gedung… udah ah lupakan… dilamar aja belum. Aku udah milih-milih tempat, haha” Anggun tertawa masam.
“Mel? ih kok bengong melulu daritadi? Perasaan sejak mantan tunangan kamu ke sini, kamu jadi sering bengong deh. Ati-ati ntar kesambet loh.” Lanjut Anggun bersungut-sungut karena Melia tidak fokus memperhatikannya.
“Mantan tunangan ya… iya ya, mantan tunangan…” gumam Melia tidak jelas.
“Mel? Hoi Meeeell… beneran kesambet ini orang kayaknya…” Anggun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Melia kali ini.

***

“Melia kesambet?” Rendi hampir menyemburkan kopi yang baru saja masuk mulutnya.
“Iya, jadi banyak bengong, ga fokus, malah kapan hari dia hampir memasukkan naskah-naskah yang baru di-print ke paper feeder. Dia jadi aneh sejak kedatangan Amung…” jelas Anggun panjang lebar ketika mereka berdua makan siang bersama di foodcourt Matos siang itu. Ketika dilihatnya Rendi mengerinyitkan dahi keheranan, dia menambahkan, “… tau kan Amung? Mantan tunangan Melia.”
“Ngapain Amung ke sini? Dia kan harusnya ada di Jakarta?” tanya Rendi kemudian.
“tauk…” Anggun hanya mengedikkan bahu, kemudian seperti teringat sesuatu, ia melanjutkan, “Daripada kita ngomongin orang lagi, gimana kalo kita ngomongin rencana kita selanjutnya?” Anggun menatap Rendi lekat-lekat.
Rendi terlihat gelagapan, “Ki-kita? Apanya yang kita?” ketika dilihatnya Anggun menundukkan kepala kecewa, Rendi terbahak dan mengacak-acak rambut Anggun dengan sayang.
“Nanti kita atur jadwal untuk ketemu mama sama papa kamu ya…” tambahnya dengan senyuman.

***

Saturday, January 18, 2014

Proyek Kroyokan 2.1

Dua tahun sejak buku Ari dan sudah beberapa kali cetak ulang. Kini Melia, yang ditunjuk oleh mama Ari sebagai orang yang mengurus royalti penjualan buku itu, semakin sibuk bukan hanya karena pekerjaannya sebagai editor maupun proofreader tetapi kini ia juga mengurus sebuah cafe baca. Cafe baca yang awalnya merupakan perwujudan cita-cita Ari, dan hanya berisi buku-buku koleksi Ari semakin besar berkat sumbangan dari teman-teman penulis bahkan juga dari penerbit.

Sebuah cafe yang juga menyediakan buku untuk dibaca dan dipinjamkan, terdiri dari dua lantai dimana lantai satu letak cafe baca itu sendiri sedang lantai dua digunakan untuk tempat para karyawan juga sebuah ruangan sebagai tempat kerja Melia. Walau memiliki ruangan tersendiri di lantai dua, Melia lebih senang menghabiskan waktunya di lantai satu.

"Pagi Mba' Mel. Oh ya kemarin ada teman yang mencari," sapa Wulan salah satu karyawan di cafe baca.
"Pagi, siapa Lan?" Sapa Melia menghentikan langkahnya yang hendak ke lantai dua.
"Wah, nggak tau mba'. Laki-laki, setahu saya baru pertama kali ke cafe ini. Saya minta hubungi saja ke handphone mba' Melia."
"Kamu kasih nomerku?"
"Nggak mba', laki-laki itu pergi setelah saya minta hubungi mba' Melia."
"Oke, makasi Wulan."

Sambil melangkah ke lantai dua, pikiran Melia masih memikirkan siapa laki-laki yang mencarinya kemarin. Jika itu temannya biasanya langsung menelpon, bahkan sebelum datang ke cafe mereka akan mengkonfirmasi terlebih dahulu keberadaan Melia. Dan kemarin tak ada temannya yang menelpon.

Setelah menebak-nebak dan tak membuahkan hasil, Melia kembali berkutat dengan pekerjaannya.

"Meeeeeeel..."

Sebuah suara yang sangat Melia kenal bahkan sebelum pemilik suara tampak ia sudah tau siapa yang datang.

"Apa Anggun sayaaaaaaang?"
"Huft! Bete nih. Rendi bener-bener deh, batalin janji seenaknya aja. Kemarin batal ganti hari ini, eh ini pagi belum juga pergi dah main batalin aja. Sibuk... Sibuk... Sibuk mulu!!!" Anggun langsung menghenyakkan pantatnya di salah satu sofa tempat biasa karyawan beristarahat, dan mengomel tanpa jeda sedetikpun.
"Yah, itukan juga demi kamu say. Katanya kamu pengen cepet nikah, kali dia kejar setoran sebelum ngelamar kamu dan mewujudkan pernikahan seperti impianmu?"
"Hah? Serius kamu? Emang Rendi ada cerita mau ngelamar aku ke kamu? Bener Mel?" Wajah kusut
Anggun mendadak berubah total, antara wajah penasaran dan bahagia.
"Nggak sih, pikirku aja."
"Heh? Iiiiiiiih, tega kamu buat aku berharap." Anggun menimpuk Melia dengan tissue yang sedari tadi digenggamnya.
"Hahahahaha, positif thinking aja kali Nggun."
"Lagian kan aku pengennya nikah nggak dirayain besar-besaran. Cukup undang kerabat dan sahabat aja, adain pesta kebun gitu tanpa yang formal-formal. Sama seperti..." tiba-tiba Anggun menghentikan kalimatnya.
"Seperti...??"
"Seperti..." sejenak Anggun ragu, "seperti pesta yang diinginkan oleh Ari."

Keheningan langsung menyergap mereka. Melia hanya menatap Anggun dengan pandangan yang bahkan oleh Anggun sendiri sukar untuk mengartikan.

***

"Kalau kalian menikah nanti, kalian ingin pesta yang bagaimana?" tanya Rendi sambil menatap pasangan yang tengah duduk dipelaminan tak henti tersenyum sambil menyalami tamu-tamu yang sepertinya tak ada habisnya, kakaknya.
"Aku ingin mengadakan pesta di tempat yang terbuka, bukan digedung seperti ini." Jawab Melia yang tengah asyik menikmati ice cream.
"Pesta kebun!" Celetuk Ari, sambil menatap Melia seakan tak ada Rendi disana. "Dan hanya dihadiri oleh kerabat dan sahabat. Ter-ba-tas." Lanjut Ari kali ini sambil menghapus noda di sudut bibir Melia.
"Pantai, orang tua dan sahabat. Itu saja. Ter-ba-tas." Senyum Melia terkembang sambil mengedipkan matanya pada Ari.

***

"Sedang Rendi ingin yang lebih simpel." Anggun coba memecahkan keheningan.
"Lebih simpel?" Melia mencoba kembali mengingat percakapan mereka, dirinya, Ari dan Rendi, dan ia tak dapat mengingat jawaban Rendi kala itu.
"Yup, dia..." Ucapan Anggun terputus, karena kedatangan Wulan.

"Maaf mba', temen mba' yang kemarin datang lagi, sekarang sedang menunggu di bawah."
"Siapa Mel?" Tanya Anggun.
"Entah, akupun tak tahu." Jawab Melia sambil memandang Wulan heran, dan bertanya "dia menunggu dimana Lan?"
"Di meja luar sebelah kiri"
"Oke, sebentar lagi saya turun."

Setelah merapikan meja kerjanya, Melia bergegas turun.

"Bentar ya, say..." Kata Melia.
"Take your time."
Saat Melia ada di ujung tangga siap untuk turun tiba-tiba Anggun berkata, "Mel, dia ingin menikah di pantai."
Langkah Melia terhenti, "dia?"
"Rendi, Mel... Udah ah, ntar aja aku ceritain lagi. Temuin dulu tamumu."

Melia turun dalam diam, saat sudah di bawah dan hendak melangkahkan kakinya ke tempat yang tadi disebutkan Wulan, matanya menangkap sesosok wajah yang hampir saja ia lupakan. "Amung?" Laki-laki yang secara sepihak membatalkan pernikahan mereka.

***

Thursday, December 19, 2013

Proyek Kroyokan 7

Setiap ada awal pasti ada akhir, dan tak akan ada akhir tanpa adanya awal. Dalam beberapa kasus, sebuah akhir menjadi sebuah awal. Awal yang pasti akan menuju akhir.

Dua bulan lalu Melia diberhentikan dari tempat kerjanya. Alasan pemutusan hubungan kerja tersebut karena Melia seringkali datang terlambat di kantor. Beberapa kali teguran berlanjut kepada tiga kali surat peringatan dan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja.

Setelah itu dia bekerja menjadi freelance editor di beberapa penerbit. Penghasilannya sekarang bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Beruntung dia memiliki banyak rekanan yang memberinya kesempatan. Tetapi sebenarnya, kemampuan Melia dalam melihat potensi sebuah naskah adalah hal yang menarik para penerbit itu untuk menggunakan jasanya. Beberapa penulis bahkan secara khusus memintanya menjadi proof reader naskah-naskah mereka.

* * *

"Sepertinya kamu semakin sibuk setelah jadi editor lepas", kata Rendi sebelum memasukkan beberapa batang kentang goreng sekaligus ke dalam mulutnya.
"Begitulah, seharusnya aku memilih pekerjaan ini lebih awal. Tak mengharuskan aku bangun pagi", jawab Melia sembari membetulkan letak kacamata yang dipakainya. Dia memakai kacamata itu secara permanen sejak dua tahun lalu, ketika karirnya sebagai editor lepas mulai menanjak.
"Jadi... Dimana temanmu?", tanya Rendi setelah dia melihat jam tangannya.
"Tunggu saja, Anggun pasti datang kok", jawab Melia dengan enteng. Sekarang sudah lima belas menit terlewat dari pukul dua belas siang, waktu yang dijanjikan Anggun untuk pertemuan ini.
"Jujur saja, aku tak menyangka...", Rendi menghentikan kalimatnya. Melia mengangkat sebelah alisnya, menunggu lanjutan kalimat itu. "Aku tak menyangka jika Anggun itu sahabat Ari. Kupikir selain kita berdua, sahabat Ari hanyalah tumpukan buku di perpustakaan", Rendi melanjutkan kalimatnya dengan suara yang dalam dan rendah. Seperti ada yang menyumbat tenggorokannya.
"Sudahlah, Ren. Tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal", Melia menjawab lirih. Sebuah kalimat yang mengakhiri diam mereka.

* * *

Malam itu adalah pertemuan pertama Melia dengan Ari sejak dia kembali ke Malang. Juga pertemuan pertama setelah Melia memutuskan hubungan asmara di antara mereka. Melia melihat ada beberapa hal yang berubah pada diri Ari, terutama hal penampilan. Dia terlihat jauh lebih modis dibandingkan saat terakhir mereka bertemu. Juga dalam percakapan, tak lagi berfokus pada kisah-kisah legenda dan mitologi. Walau awalnya kikuk, pertemuan itu berlangsung santai, membuat Melia untuk pertama kalinya merasa nyaman bersama dengan Ari.

Tetapi di balik perubahan itu, Melia tetap menyadari satu hal yang tidak berubah pada diri Ari. Tertutup. Bahkan sekarang Melia merasa Ari lebih pandai dalam menutup perasaannya. Tapi itulah Ari, seorang kutu buku yang introvert. Kepribadian Ari itu juga yang menjadi alasan Melia mengakhiri hubungan mereka.

Sebelum pertemuan itu, Melia sangat yakin jika Ari akan mengajaknya kembali menjalin asmara. Dia merasa muak memikirkan kemungkinan itu. Bahkan dia berencana langsung pergi jika Ari benar-benar mengatakan hal itu. Tetapi pada akhirnya, dialah yang berharap Ari akan mengajaknya kembali.

Sayang sekali, harapannya itu tak kunjung terwujud. Bahkan dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya tak ada ajakan dari Ari untuk kembali menjalin asmara. Hal ini mulai menyiksa Melia.

"Nanti malam? Bisa! Aku pasti datang", jawab Ari dengan antusias.
"Oke. Sampai ketemu nanti", kata Melia mengakhiri percakapan singkat di telepon.

Aku pasti sudah gila!, batin Melia. Ini pertama kalinya dia yang mengajak Ari untuk bertemu. Tetapi kegilaan ini akan segera berakhir. Malam ini Melia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya kepada Ari. Dia tak lagi peduli, pesona Ari telah benar-benar membuatnya kembali jatuh cinta. Luar biasa bagaimana perkembangan Ari mampu mengubah penilaiannya.

Malam ini, siksaan di hati Melia akan berakhir.

Hampir dua jam Melia duduk di kafe itu dengan gelisah. Sudah selarut ini dan Ari belum juga datang. Belasan kali SMS dan panggilan teleponnya tak mendapatkan respon. Melia merasa kesal. Tiba-tiba saja sebuah pikiran hadir di benaknya, inikah yang dirasakan Ari ketika aku tak pernah menanggapi SMS dan panggilannya? Rasa kesalnya kini menjadi sesal. Mungkin inilah balasan atas sikap egois yang pernah ditunjukkannya.

Sebuah panggilan dari Ari membuat langkahnya menuju halte terhenti. Dengan antusias dia segera menjawabnya.
"Halo, Ari. Kamu kemana saja? Aku nungguin dari tadi. Sekarang aku mau pulang nih...", cerocosnya.
"Selamat malam, kami dari Satlantas Polres Malang. Kami ingin mengabarkan saudara Ari Rahardian mengalami kecelakaan lalu lintas di LA Sucipto. Saat ini yang bersangkutan berada di kamar mayat RSUD dr. Saiful Anwar. Kami mohon..."

Melia tak lagi memperhatikan apa yang dikatakan oleh petugas kepolisian tersebut. Dia berbalik dan berlari menuju beberapa taksi yang terparkir di dekat kafe.

* * *

"Mel... Halooo...", panggil Rendi sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Melia.
"Hah...?? Iya...??", Melia gelagapan begitu tersadar dari lamunannya. Dia lebih gelagapan ketika melihat Anggun sudah berdiri di sisi meja mereka.
"Kamu melamun atau tertidur sih?", goda Anggun.
"Maaf, maaf...", muka Melia memerah. Dia berdiri, bersalaman dan memberikan cipika cipiki kepada temannya tersebut. Setelah bersalaman dengan Rendi, Anggun duduk di sebelah Melia.
"Maaf aku terlambat, jadi langsung to the point saja. Aku ingin memberikan ini padamu", kata Anggun sambil mengeluarkan sebuah amplop besar tertutup.
"Naskah?", kata Melia setelah menerima amplop itu.
"Ya. Aku baru saja selesai menyusun dan merapikannya, dan hanya kamu yang pantas menjadi editornya", jawab Anggun.

Melia membuka amplop itu, dikeluarkannya setumpuk kertas dengan berbagai ukuran yang disatukan dengan sebuah paperclip besar. Seluruh kertas tersebut penuh dengan tulisan tangan. Beberapa coretan menghiasi beberapa lembar di antaranya. Di halaman paling depan tertulis:
"Me, Icarus"
-written by Ari Rahardian-


* F * I * N *

Thursday, December 12, 2013

Proyek Kroyokan 6

"Mungkin ini tak akan banyak membantu, tapi tetap harus ada penjelasan untuk semua ini. Kesalahpahaman yang terjadi selama beberapa tahun ini." Dia bergumam sendiri sambil memainkan telpon selulernya. Satu nomor yang siap dihubungi sudah terpilih, tinggal menekan tombol 'calling' atau 'back'. Satu hal yang mudah, namun untuk mengawalinya sedikit susah, harus dari mana.
"Ahh sudahlah, itu urusan belakangan.. yang penting aku harus bisa bertemu dengan Melia lagi.."
Sekelebatan bayangan sosok Melia yang sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini membuatnya tak tenang, seakan membawanya kembali ke masa lalu. Mengingatkannya pada kesalahan yang cukup fatal, yang menyebabkan hubungannya dengan Melia jadi renggang sampai akhirnya menjauh dan untuk beberapa saat kehilangan komunikasi dengan Melia.

'Calling Melia'

---

“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?” tanya seseorang diseberang sana saat panggilan diterima, setelah menunggu cukup lama. Orang itu tidak lain adalah Melia.
“Ini Melia kan?" sedikit ragu dan coba memastikan.
Begitu mendengar suara itu, Melia terdiam. Dia seperti akrab dengan suara itu, tapi siapa? Nomor yang disembunyikan membuatnya tak bisa mengenali.
"Iya, ini siapa ya?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, penting, kapan kamu ada waktu luang?" Begitu to the point, tanpa basa basi.

---

Melia ada di tempat ini lagi, setelah sekian lama. Salah satu tempat yang pernah membuat Melia merasa nyaman nongkrong untuk waktu yang lama. Tempat ini bukan sekedar tempat dia menghabiskan waktu beberapa jam dengan minuman favoritnya, tapi juga tempat yang penuh kenangan. Dan sekarang dia duduk berseberangan dengan seseorang yang pernah jadi orang spesial untuknya. Tapi itu dulu.

"Masih tetap pecinta cappuccino rupanya.." dia coba mengawali pembicaraan dalam situasi yg benar-benar tampak canggung.
"Tetap dan akan selalu" jawab Melia singkat.
Ari tersenyum, Melia bisa melihtnya sekalipun pencahayaan di tempat itu tidak begitu bagus, di bawah lampu kekuningan.
"Berarti nggk banyak yang berubah yaa dari diri kamu"
"Hmm, pernyataan yang sok tau" gumam Melia dalam hati.
"Nggk juga.." kemudian Melia mengangkat gelas dan meneguk cappuccinonya..
Entah kenapa tiba-tiba Melia merasa gugup. Apa karena ini pertemuan pertamanya dengan Ari setelah sekian lama? Atau karena hal lain? Melia tak tahu. "Iya juga sih, dari penampilan kamu kelihatan beda banget.. lebih dewasa.."
oow ow, Melia hmpir tersedak mendengarnya.
"Selebihnya aku tak tau.. hhe Hhe.." sambung Ari.
Melia hanya meringis.
Setelah itu kalimat-kalimat singkat yang terlontarkan. Pertemuan malam ini sekedar awal pembuka pertemuan kembali.
Ari dan Melia lebih banyak saling diam, tanpa tau apa yang dirasakan dan apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Yang jelas, Melia sedang tak ingin memikirkan apapun. Termasuk alasan yang membuatnya sampai bisa berada disini.
Melihat gerak-gerik Melia, Ari urung mengutarakan maksudnya, langsung pada inti.
"Mungkin biarkan dulu seperti ini, aku baru saja bisa bertemu kembali dengan Melia, aku tak ingin merusak situasi ini"

---

Tuesday, December 3, 2013

Proyek Kroyokan 5

Beberapa saat sabelumnya, Ari menunggu Melia selama dua jam di cafe yang tujuh tahun silam menjadi tempat faforit yang  mereka berdua kunjungi. Dengan penuh rasa kecewa, harapannya semakin surut terkikis oleh malam yang kian larut. Ia sadar penantiannya selama dua jam itu hanyalah sia-sia. Sampai akhirnya ia keluar dari cafe dan  menancap gas motornya.

Tak jauh keluar dari tempat parkir, ia tak sengaja melihat Melia dan Rendi di sebuah cafe terbuka Coffe Toffe yang terletak di teras Matos, sebuah mall yang didirikan pada pertengahan tahun 2005. Ia terkejut dan langsung mematikan mesin motornya. Ari menatap dari kejahuan dan ingin mendatangi mereka berdua di mejanya, namun niatan itu urung Ari lakukan. Ia takut suasana akan semakin buruk.
“Mel, aku kangen banget sama kamu. Aku ingin sekali bertemu sama kamu. Aku ingin menjelaskan alasanku beberapa tahun yang lalu. Tapi kamu sepertinya hanya ingin membalasku atas rasa sakitmu karena aku. Dan kamu telah berhasil. Apa mungkin Rendi mengambil kesempatan seperti ini untuk mendekati Melia?” Tiba-tiba Ari berpikiran ada hubungan di antara Melia dan Rendi.
“Tapi ahhh tak mungkin seperti itu.” Ia segera menghilangkan pikiran negatifnya.
“Hai Ar..” tepukan tepat di pundak itu membuyarkan pikirannya.
“Eh, kamu Nggun. Kamu benar-benar mengagetkanku. Sedang apa kamu di sini?”
“Ehhm, aku habis berbelanja dari Matos. Biasa shopping Ar.” Ari tak menyangka tanpa sengaja bisa bertemu dengan Anggun di sana.
“Sudah lama ya kita tak bertemu, bagaimana kabarmu sekarang? Setelah lulus kuliah kita tak ada komunikasi lagi.” Anggun bukan asli warga kota Malang, ia pendatang. Ia berasal dari luar jawa,  karena pekerjaannya ia menetap di Malang.
“Oh iya tidak enak rasanya kita ngobrol di tempat seperti ini. Ayo kita ngopi bentar di sini, Ar!” Anggun mengajak ari masuk ke mall itu namun Ari tak mau karena di sana ada Melia dan Rendi. Anggun tak tahu kalau mereka ada di sana. Dan Ari sengaja tidak memberitahunya. Karena kalau tidak, Anggun pasti akan mengajaknya untuk bergabung bersama mereka.

“Kebetulan di ujung jalan ada sebuah cafe kecil. Kita ngobrolnya di sana aja.” Ari mengajak Anggun untuk ngopi di cafe yang lain dan mereka berdua melanjutkan malam itu dengan percakapan yang panjang. Anggun merupakan teman sekampus Ari, yang juga sama dengan Melia dan Rendi. Mereka bertemu di sebuah acara kampus saat masih di bangku kuliah.  Sehingga mereka berempat saling mengenal.
………………….
Seperti biasanya Melia selalu tergesa-gesa menuju ke tempat kerjanya. Alarmnya tak pernah berhasil untuk membuatnya bangun tepat waktu. Sebagai seorang senior editor ia yang paling bertanggung jawab atas hasil publikasi yang diciptakan. Ia bertanggung jawab mulai dari administrasi, menulis dan merancang serta mendistribusikan suatu tulisan. Ia bertugas mencari naskah yang berbobot kemudian menyuntingnya menjadi naskah yang baik agar tulisan mudah dimengerti oleh pembaca.
Melia langsung mencari Anggun di ruang kerjanya. Karena ia lah teman Melia yang paling dekat di kantornya. Karena mereka sudah kenal saat mereka kuliah. Anggun yang memberi informasi lowongan pekerjaan kepada Melia sampai mereka akhirnya menjadi teman sekantor. Namun mereka di bagian yang berbeda.
“Nggun, jahat banget kamu! Kok aku tadi ndak kamu bangunin. Aku jadi telat deh tadi. Oh iya  tadi malam kamu pulang pukul berapa? Aku menunggumu sampai tertidur.” Suara Melia membrondong lantang seperti bunyi petasan saat mereka menikmati makan siang di kantin.
“Siapa bilang aku tak membangunkanmu? Aku sudah membangunkanmu berkali-kali tapi kamu hanya menjawabku dengan kata “iya” dan tidur lagi. Tadi malam aku hanya jalan-jalan di Matos belanja keperluan sehari-hari dan cari angin sebentar.” Ia menceritakan semuanya pada Melia namun  ia sengaja tak mengatakan pertemuannya dengan Rendi di cafe kemarin malam.

“Loh, kok sama. Aku  juga kemarin juga ke Matos ngopi sama Rendi. Aku tiba-tiba ingin menikmati secangkir cappuccino yang menenangkan dan menghilangkan lelah yang melanda akibat kerja seharian. Cuma ngobrol sebentar sih dan langsung kembali ke apartemen karena aku sudah ngantuk. Karena kebetulan tugasku sudah selesai jadi aku bisa tidur lebih awal. Tapi kenapa ya tetap saja aku tidak bisa bangun pagi.”
“Akh emang kamu saja yang sudah terbiasa tidak bisa bangun pagi Mel.” Goda Anggun tanpa tanggung-tanggung.
Beberapa saat kemudian ponsel Melia berbunyi. Ia segera melihat layar ponselnya. Namun ia tak segera mengangkat telepon tersebut.
“Privat number – Siapa kira-kira ini ya? Jangan-jangan teroris nih.” Kata Melia hingga akhirnya ia mengangkat telepon tersebut.
“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?”
“Ini Melia kan?” Nada suara itu terdengar ragu-ragu diucapkan. Melia terdiam dan berfikir sejenak. Ia sepertinya tidak asing dengan suara dari telepon itu.
***

Wednesday, November 27, 2013

Proyek Keroyokan 4

"besok jam 7 malam di tempat biasa" -send, kemudian di letakkan lagi handphone milik melia di tempat semula, setelah menghapus sms ary dan balasannya.
"ari..ari.." gumam seorang cewek yang merupakan teman satu kamar melia.
-------------------------------------
" lia, bangun lia udah jam setengah 7 ni, kamu gak kerja "
" hah , setengah 7 " seketika melia loncat dari tempat tidurnya
" aduh masa aku harus telat lagi untuk kesekian kalinya " sambil lari ke kamar mandi
" makanya jangan begadang muluu " teriak teman sekamarnya ini.
" kamu juga ngapain bangunin jam setengah 7 " balas lia
liapun terburu - buru karena memang jam masuk kantor adalah jam 7:00
beberapa menit menunggu angkot yang tak kunjung datang membuat lia semakin bingung, tak sengaja dia melihat motor ari melaju ke arah sebaliknya, di palingkan pandangannya agar tidak sampai terlihat oleh ari. Akhirnya angkot yang di tunggunya pun datang.
Tenggelam dalam lamunan membuat lia tidak sadar kalo kantornya sudah terlewat beberapa blok.
" aduh, bang bang kiri " buru buru lia keluar dari angkot.
" neng ..neng bayar dulu "
#tepok jidad
" oh ya bang maap bang, keburu - buru " sambil nyengir dan menyerahkan beberapa lembar uang.
" aduh apes banget ya hari ini, emang mimpi apa aku semalam "
Setelah sampai di kantor di hempaskan badannya ke kursi kerjanya, dan mulai berkutat dengan pekerjaannya tanpa bisa lepas dari bayangan ari.
entah perasaan apa ini, kenapa aku harus bertemu dia pagi ini.
" tuhan pertanda apa ini, aku masih percaya dengan kata " tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah di atur ", tapi apakah aku boleh berharap lagi, padahal...ah sudahlah "
Akhirnya waktunya pulang, ingin rasanya bergegas keluar dari kantor ini menuju cafe langganan yang menjual capucino, minuman lembut yang menenangkan. segera melia mengetikkan beberapa kalimat kepada rendi " ren..ngopi yuk, di tempat biasa " beberapa saat handphone melia berdering " oke.. tunggu di sana ya "
" angkot lagi angkot lagi, kapan aku bisa beli motor sendiri ya , kan enak tuh bisa kemana - mana sendiri ,gak perlu pusing nungguin angkot , belum entar ngetem, di tinggal makan ma supir..arggghh supir - supir sekrang juga kok tega banget mbiarin penumpang terkapar di dalam angkot, ya kalo lagi gak butuh cepet..lha kalo butuhnya cepet oh no.."
" kenapa neng kok mukanya bete gitu, bareng aja yuk " sebuah sepeda motor berenti di depan melia.
" rendiii.. " merasa mendapat bala bantuan melia tersenyum lebar.
----------------------
ari terlihat gusar melihat jam di tangannya sudah menunjukkan angka 19:30 dan sekali kali dia melihat layar handphonenya menunggu jawaban dari melia, beberapa sms dan telponpun di layangkan kepada melia tapi tak satupun di balasnya.
" dimana kamu "
jam 20:00
" apa maksud dia, apa yang terjadi " pikiran burukpun menghampiri ari, aripun bergegas keluar dari cafe tempat biasanya dia datang berdua dengan melia.
di tancapnya gas motor dengan sedikit tergesa - gesa sambil melihat kanan kiri, dan pandangannya jatuh ke salah satu cafe terbuka, dilihatnya melia dan rendi sedang bersenda gurau berdua.
sakit, kecewa, entah perasaan apalagi yang berkecambuk di hari ari melihat pemandangan ini, di tinggalkannya tempat itu dengan kecepatan tinggi.
----------------------
" kenapa kamu belum mau ketemu ari li "
pertanyaan itu sukses membuatnya terdiam dan pastinya jantung melia berdetak lebih cepat dari biasanya.
tak mendapat jawaban rendipun mengalihkan pembicaraannya
" melia melia kenapa kamu suka capucino ? " pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tidak penting.
" lembut, hangat, harum kayak aku " kata melia sambil tersenyum centil.
gemas dengan jawaban melia rendipun mengacak - acak rambut melia.