Setiap ada awal pasti ada akhir, dan tak akan
ada akhir tanpa adanya awal. Dalam beberapa kasus, sebuah akhir menjadi sebuah
awal. Awal yang pasti akan menuju akhir.
Dua bulan lalu Melia diberhentikan dari tempat
kerjanya. Alasan pemutusan hubungan kerja tersebut karena Melia seringkali
datang terlambat di kantor. Beberapa kali teguran berlanjut kepada tiga kali
surat peringatan dan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja.
Setelah itu dia bekerja menjadi freelance editor di beberapa penerbit.
Penghasilannya sekarang bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Beruntung dia
memiliki banyak rekanan yang memberinya kesempatan. Tetapi sebenarnya,
kemampuan Melia dalam melihat potensi sebuah naskah adalah hal yang menarik
para penerbit itu untuk menggunakan jasanya. Beberapa penulis bahkan secara
khusus memintanya menjadi proof reader naskah-naskah
mereka.
* * *
"Sepertinya kamu semakin sibuk setelah
jadi editor lepas", kata Rendi sebelum memasukkan beberapa batang kentang
goreng sekaligus ke dalam mulutnya.
"Begitulah, seharusnya aku memilih
pekerjaan ini lebih awal. Tak mengharuskan aku bangun pagi", jawab Melia
sembari membetulkan letak kacamata yang dipakainya. Dia memakai kacamata itu
secara permanen sejak dua tahun lalu, ketika karirnya sebagai editor lepas
mulai menanjak.
"Jadi... Dimana temanmu?", tanya
Rendi setelah dia melihat jam tangannya.
"Tunggu saja, Anggun pasti datang
kok", jawab Melia dengan enteng. Sekarang sudah lima belas menit terlewat
dari pukul dua belas siang, waktu yang dijanjikan Anggun untuk pertemuan ini.
"Jujur saja, aku tak menyangka...",
Rendi menghentikan kalimatnya. Melia mengangkat sebelah alisnya, menunggu
lanjutan kalimat itu. "Aku tak menyangka jika Anggun itu sahabat Ari.
Kupikir selain kita berdua, sahabat Ari hanyalah tumpukan buku di
perpustakaan", Rendi melanjutkan kalimatnya dengan suara yang dalam dan
rendah. Seperti ada yang menyumbat tenggorokannya.
"Sudahlah, Ren. Tak baik membicarakan
orang yang sudah meninggal", Melia menjawab lirih. Sebuah kalimat yang
mengakhiri diam mereka.
* * *
Malam itu adalah pertemuan pertama Melia dengan
Ari sejak dia kembali ke Malang. Juga pertemuan pertama setelah Melia
memutuskan hubungan asmara di antara mereka. Melia melihat ada beberapa hal
yang berubah pada diri Ari, terutama hal penampilan. Dia terlihat jauh lebih
modis dibandingkan saat terakhir mereka bertemu. Juga dalam percakapan, tak
lagi berfokus pada kisah-kisah legenda dan mitologi. Walau awalnya kikuk,
pertemuan itu berlangsung santai, membuat Melia untuk pertama kalinya merasa
nyaman bersama dengan Ari.
Tetapi di balik perubahan itu, Melia tetap
menyadari satu hal yang tidak berubah pada diri Ari. Tertutup. Bahkan sekarang
Melia merasa Ari lebih pandai dalam menutup perasaannya. Tapi itulah Ari,
seorang kutu buku yang introvert.
Kepribadian Ari itu juga yang menjadi alasan Melia mengakhiri hubungan mereka.
Sebelum pertemuan itu, Melia sangat yakin jika
Ari akan mengajaknya kembali menjalin asmara. Dia merasa muak memikirkan
kemungkinan itu. Bahkan dia berencana langsung pergi jika Ari benar-benar
mengatakan hal itu. Tetapi pada akhirnya, dialah yang berharap Ari akan
mengajaknya kembali.
Sayang sekali, harapannya itu tak kunjung
terwujud. Bahkan dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya tak ada ajakan
dari Ari untuk kembali menjalin asmara. Hal ini mulai menyiksa Melia.
"Nanti malam? Bisa! Aku pasti
datang", jawab Ari dengan antusias.
"Oke. Sampai ketemu nanti", kata
Melia mengakhiri percakapan singkat di telepon.
Aku
pasti sudah gila!, batin Melia. Ini pertama kalinya dia yang
mengajak Ari untuk bertemu. Tetapi
kegilaan ini akan segera berakhir. Malam ini Melia bertekad untuk
mengungkapkan perasaannya kepada Ari. Dia tak lagi peduli, pesona Ari telah
benar-benar membuatnya kembali jatuh cinta. Luar biasa bagaimana perkembangan
Ari mampu mengubah penilaiannya.
Malam ini, siksaan di hati Melia akan berakhir.
Hampir dua jam Melia duduk di kafe itu dengan
gelisah. Sudah selarut ini dan Ari belum juga datang. Belasan kali SMS dan
panggilan teleponnya tak mendapatkan respon. Melia merasa kesal. Tiba-tiba saja
sebuah pikiran hadir di benaknya, inikah
yang dirasakan Ari ketika aku tak pernah menanggapi SMS dan panggilannya? Rasa
kesalnya kini menjadi sesal. Mungkin inilah balasan atas sikap egois yang
pernah ditunjukkannya.
Sebuah panggilan dari Ari membuat langkahnya
menuju halte terhenti. Dengan antusias dia segera menjawabnya.
"Halo, Ari. Kamu kemana saja? Aku nungguin
dari tadi. Sekarang aku mau pulang nih...", cerocosnya.
"Selamat malam, kami dari Satlantas Polres
Malang. Kami ingin mengabarkan saudara Ari Rahardian mengalami kecelakaan lalu
lintas di LA Sucipto. Saat ini yang bersangkutan berada di kamar mayat RSUD dr.
Saiful Anwar. Kami mohon..."
Melia tak lagi memperhatikan apa yang dikatakan
oleh petugas kepolisian tersebut. Dia berbalik dan berlari menuju beberapa
taksi yang terparkir di dekat kafe.
* * *
"Mel... Halooo...", panggil Rendi
sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Melia.
"Hah...?? Iya...??", Melia gelagapan
begitu tersadar dari lamunannya. Dia lebih gelagapan ketika melihat Anggun
sudah berdiri di sisi meja mereka.
"Kamu melamun atau tertidur sih?",
goda Anggun.
"Maaf, maaf...", muka Melia memerah.
Dia berdiri, bersalaman dan memberikan cipika
cipiki kepada temannya tersebut. Setelah bersalaman dengan Rendi, Anggun
duduk di sebelah Melia.
"Maaf aku terlambat, jadi langsung to the point saja. Aku ingin memberikan
ini padamu", kata Anggun sambil mengeluarkan sebuah amplop besar tertutup.
"Naskah?", kata Melia setelah
menerima amplop itu.
"Ya. Aku baru saja selesai menyusun dan
merapikannya, dan hanya kamu yang pantas menjadi editornya", jawab Anggun.
Melia membuka amplop itu, dikeluarkannya
setumpuk kertas dengan berbagai ukuran yang disatukan dengan sebuah paperclip besar. Seluruh kertas tersebut
penuh dengan tulisan tangan. Beberapa coretan menghiasi beberapa lembar di
antaranya. Di halaman paling depan tertulis:
"Me,
Icarus"
-written
by Ari Rahardian-
* F * I
* N *
No comments:
Post a Comment