“… Amung?”
“Hai Mel, apa kabar?” Amung
mengulurkan tangan, ragu-ragu Melia menyambut salam Amung.
“Ada keperluan apa?” tanya Melia
tanpa berbasa-basi.
Mendapat tanggapan Melia yang tidak
diduganya, Amung mengangkat sebelah alisnya, “Aku kebetulan ada tugas di
Surabaya. Denger-denger dari anak-anak yang di Jakarta, kamu punya café
sekaligus bookstore di Malang. Jadi
aku sengaja mampir ke sini…” Amung hampir menambahkan kata ‘problem?’ dengan nada sarkas khas yang
biasa dipakainya, namun melihat wajah Melia berubah keruh, ia mengurungkan niat
itu.
“Oh… sengaja mampir? Kabarku baik, seperti
yang kamu lihat aku sibuk sekarang. Kalau kamu ngga ada keperluan lain, kamu
bisa masuk dan baca-baca buku di sini sambil menikmati kopi. Karena aku harus
melakukan beberapa hal di lantai 2, kamu tahu kan, urusan kerjaan.”
Sebelum Amung sempat mengatakan
sesuatu atau menahan Melia lebih lama lagi, dia hanya bisa membiarkan Melia
pergi dan bergegas masuk seolah-olah Melia ingin membuat jarak sejauh mungkin
darinya.
***
Selama beberapa hari berikutnya Melia
terpaksa bermain ‘kucing-kucingan’ dengan Amung, karena pria itu setiap hari
masih berusaha untuk menemuinya lagi. Seperti pagi tadi, Melia mengendap-endap di
belakang Amung yang sedang terpaku menghadap sebuah pigura yang berisi tulisan:
Yes. I am an illusion. Not real. Sooner or later you will forget about
me.
Illusion will never be something real. Like a shadow, which will never
get a body.
-Ari Rahardian-
Sejenak Melia lupa kalau dia sedang
berusaha menghindar dari Amung ketika Amung membalikkan badan dan bertanya,
“Siapa Ari Rahardian, Mel? Sepertinya dia yang memberi kehidupan di café ini.
Dari kemarin aku lihat banyak kutipan-kutipan karyanya yang dipajang di sini.”
Melia menghela nafas panjang, “Ari…
dia sahabatku yang sudah meninggal, yang punya cita-cita memiliki café
sekaligus bookstore, dan aku di sini membantunya mewujudkan cita-citanya.”
Mereka berdua terdiam, ada jeda cukup
lama sebelum Amung menambahkan kepada Melia, “Kamu ga keberatan kan, kalo aku
melihat-lihat di sini lebih lama lagi? Aku suka pada suasana café dan koleksi
buku-bukunya.” Melia seperti tersadar dari lamunannya, “Apa? Oh, silahkan saja.
Tapi maaf aku tidak bisa menemani lama-lama. Aku benar-benar sedang banyak
kerjaan sekarang.”
“No
problem,” kata Amung kemudian.
***
“Menurutmu, pesan gedung untuk acara pernikahan itu sebaiknya kapan?” Anggun bertanya kepada Melia sembari membolak balik majalah edisi khusus yang memuat segala hal tentang persiapan pernikahan. Ketika dilihatnya Melia seperti tidak mendengar kalimatnya barusan, dia memanggil Melia dengan suara agak keras, “Mel? Melia hei Meliaa…!” kali ini dikibaskan tangannya di depan Melia.
Melia lagi-lagi seperti tersadar dari
lamunan, “Eh… apa? Pesan catering? Di si…” kata-katanya terpotong oleh Anggun,
“Gedung Mel, gedung… udah ah lupakan… dilamar aja belum. Aku udah milih-milih
tempat, haha” Anggun tertawa masam.
“Mel? ih kok bengong melulu daritadi?
Perasaan sejak mantan tunangan kamu ke sini, kamu jadi sering bengong deh. Ati-ati
ntar kesambet loh.” Lanjut Anggun bersungut-sungut karena Melia tidak fokus memperhatikannya.
“Mantan tunangan ya… iya ya, mantan
tunangan…” gumam Melia tidak jelas.
“Mel? Hoi Meeeell… beneran kesambet
ini orang kayaknya…” Anggun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Melia
kali ini.
***
“Melia kesambet?” Rendi hampir
menyemburkan kopi yang baru saja masuk mulutnya.
“Iya, jadi banyak bengong, ga fokus,
malah kapan hari dia hampir memasukkan naskah-naskah yang baru di-print ke paper feeder. Dia jadi aneh sejak kedatangan Amung…” jelas Anggun
panjang lebar ketika mereka berdua makan siang bersama di foodcourt Matos siang itu. Ketika dilihatnya Rendi mengerinyitkan
dahi keheranan, dia menambahkan, “… tau kan Amung? Mantan tunangan Melia.”
“Ngapain Amung ke sini? Dia kan
harusnya ada di Jakarta?” tanya Rendi kemudian.
“tauk…” Anggun hanya mengedikkan
bahu, kemudian seperti teringat sesuatu, ia melanjutkan, “Daripada kita
ngomongin orang lagi, gimana kalo kita ngomongin rencana kita selanjutnya?” Anggun
menatap Rendi lekat-lekat.
Rendi terlihat gelagapan, “Ki-kita? Apanya
yang kita?” ketika dilihatnya Anggun menundukkan kepala kecewa, Rendi terbahak
dan mengacak-acak rambut Anggun dengan sayang.
“Nanti kita atur jadwal untuk ketemu
mama sama papa kamu ya…” tambahnya dengan senyuman.
***
No comments:
Post a Comment