Tuesday, February 11, 2014

Proyek Kroyokan 2.2

“… Amung?”
“Hai Mel, apa kabar?” Amung mengulurkan tangan, ragu-ragu Melia menyambut salam Amung.
“Ada keperluan apa?” tanya Melia tanpa berbasa-basi.
Mendapat tanggapan Melia yang tidak diduganya, Amung mengangkat sebelah alisnya, “Aku kebetulan ada tugas di Surabaya. Denger-denger dari anak-anak yang di Jakarta, kamu punya café sekaligus bookstore di Malang. Jadi aku sengaja mampir ke sini…” Amung hampir menambahkan kata ‘problem?’ dengan nada sarkas khas yang biasa dipakainya, namun melihat wajah Melia berubah keruh, ia mengurungkan niat itu.
“Oh… sengaja mampir? Kabarku baik, seperti yang kamu lihat aku sibuk sekarang. Kalau kamu ngga ada keperluan lain, kamu bisa masuk dan baca-baca buku di sini sambil menikmati kopi. Karena aku harus melakukan beberapa hal di lantai 2, kamu tahu kan, urusan kerjaan.”
Sebelum Amung sempat mengatakan sesuatu atau menahan Melia lebih lama lagi, dia hanya bisa membiarkan Melia pergi dan bergegas masuk seolah-olah Melia ingin membuat jarak sejauh mungkin darinya.

***

Selama beberapa hari berikutnya Melia terpaksa bermain ‘kucing-kucingan’ dengan Amung, karena pria itu setiap hari masih berusaha untuk menemuinya lagi. Seperti pagi tadi, Melia mengendap-endap di belakang Amung yang sedang terpaku menghadap sebuah pigura yang berisi tulisan:

Yes. I am an illusion. Not real. Sooner or later you will forget about me.
Illusion will never be something real. Like a shadow, which will never get a body.
-Ari Rahardian-

Sejenak Melia lupa kalau dia sedang berusaha menghindar dari Amung ketika Amung membalikkan badan dan bertanya, “Siapa Ari Rahardian, Mel? Sepertinya dia yang memberi kehidupan di café ini. Dari kemarin aku lihat banyak kutipan-kutipan karyanya yang dipajang di sini.”
Melia menghela nafas panjang, “Ari… dia sahabatku yang sudah meninggal, yang punya cita-cita memiliki café sekaligus bookstore, dan aku di sini membantunya mewujudkan cita-citanya.”
Mereka berdua terdiam, ada jeda cukup lama sebelum Amung menambahkan kepada Melia, “Kamu ga keberatan kan, kalo aku melihat-lihat di sini lebih lama lagi? Aku suka pada suasana café dan koleksi buku-bukunya.” Melia seperti tersadar dari lamunannya, “Apa? Oh, silahkan saja. Tapi maaf aku tidak bisa menemani lama-lama. Aku benar-benar sedang banyak kerjaan sekarang.”
No problem,” kata Amung kemudian.

***

“Menurutmu, pesan gedung untuk acara pernikahan itu sebaiknya kapan?” Anggun bertanya kepada Melia sembari membolak balik majalah edisi khusus yang memuat segala hal tentang persiapan pernikahan. Ketika dilihatnya Melia seperti tidak mendengar kalimatnya barusan, dia memanggil Melia dengan suara agak keras, “Mel? Melia hei Meliaa…!” kali ini dikibaskan tangannya di depan Melia.
Melia lagi-lagi seperti tersadar dari lamunan, “Eh… apa? Pesan catering? Di si…” kata-katanya terpotong oleh Anggun, “Gedung Mel, gedung… udah ah lupakan… dilamar aja belum. Aku udah milih-milih tempat, haha” Anggun tertawa masam.
“Mel? ih kok bengong melulu daritadi? Perasaan sejak mantan tunangan kamu ke sini, kamu jadi sering bengong deh. Ati-ati ntar kesambet loh.” Lanjut Anggun bersungut-sungut karena Melia tidak fokus memperhatikannya.
“Mantan tunangan ya… iya ya, mantan tunangan…” gumam Melia tidak jelas.
“Mel? Hoi Meeeell… beneran kesambet ini orang kayaknya…” Anggun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Melia kali ini.

***

“Melia kesambet?” Rendi hampir menyemburkan kopi yang baru saja masuk mulutnya.
“Iya, jadi banyak bengong, ga fokus, malah kapan hari dia hampir memasukkan naskah-naskah yang baru di-print ke paper feeder. Dia jadi aneh sejak kedatangan Amung…” jelas Anggun panjang lebar ketika mereka berdua makan siang bersama di foodcourt Matos siang itu. Ketika dilihatnya Rendi mengerinyitkan dahi keheranan, dia menambahkan, “… tau kan Amung? Mantan tunangan Melia.”
“Ngapain Amung ke sini? Dia kan harusnya ada di Jakarta?” tanya Rendi kemudian.
“tauk…” Anggun hanya mengedikkan bahu, kemudian seperti teringat sesuatu, ia melanjutkan, “Daripada kita ngomongin orang lagi, gimana kalo kita ngomongin rencana kita selanjutnya?” Anggun menatap Rendi lekat-lekat.
Rendi terlihat gelagapan, “Ki-kita? Apanya yang kita?” ketika dilihatnya Anggun menundukkan kepala kecewa, Rendi terbahak dan mengacak-acak rambut Anggun dengan sayang.
“Nanti kita atur jadwal untuk ketemu mama sama papa kamu ya…” tambahnya dengan senyuman.

***

No comments:

Post a Comment