Wednesday, November 27, 2013

Proyek Keroyokan 4

"besok jam 7 malam di tempat biasa" -send, kemudian di letakkan lagi handphone milik melia di tempat semula, setelah menghapus sms ary dan balasannya.
"ari..ari.." gumam seorang cewek yang merupakan teman satu kamar melia.
-------------------------------------
" lia, bangun lia udah jam setengah 7 ni, kamu gak kerja "
" hah , setengah 7 " seketika melia loncat dari tempat tidurnya
" aduh masa aku harus telat lagi untuk kesekian kalinya " sambil lari ke kamar mandi
" makanya jangan begadang muluu " teriak teman sekamarnya ini.
" kamu juga ngapain bangunin jam setengah 7 " balas lia
liapun terburu - buru karena memang jam masuk kantor adalah jam 7:00
beberapa menit menunggu angkot yang tak kunjung datang membuat lia semakin bingung, tak sengaja dia melihat motor ari melaju ke arah sebaliknya, di palingkan pandangannya agar tidak sampai terlihat oleh ari. Akhirnya angkot yang di tunggunya pun datang.
Tenggelam dalam lamunan membuat lia tidak sadar kalo kantornya sudah terlewat beberapa blok.
" aduh, bang bang kiri " buru buru lia keluar dari angkot.
" neng ..neng bayar dulu "
#tepok jidad
" oh ya bang maap bang, keburu - buru " sambil nyengir dan menyerahkan beberapa lembar uang.
" aduh apes banget ya hari ini, emang mimpi apa aku semalam "
Setelah sampai di kantor di hempaskan badannya ke kursi kerjanya, dan mulai berkutat dengan pekerjaannya tanpa bisa lepas dari bayangan ari.
entah perasaan apa ini, kenapa aku harus bertemu dia pagi ini.
" tuhan pertanda apa ini, aku masih percaya dengan kata " tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah di atur ", tapi apakah aku boleh berharap lagi, padahal...ah sudahlah "
Akhirnya waktunya pulang, ingin rasanya bergegas keluar dari kantor ini menuju cafe langganan yang menjual capucino, minuman lembut yang menenangkan. segera melia mengetikkan beberapa kalimat kepada rendi " ren..ngopi yuk, di tempat biasa " beberapa saat handphone melia berdering " oke.. tunggu di sana ya "
" angkot lagi angkot lagi, kapan aku bisa beli motor sendiri ya , kan enak tuh bisa kemana - mana sendiri ,gak perlu pusing nungguin angkot , belum entar ngetem, di tinggal makan ma supir..arggghh supir - supir sekrang juga kok tega banget mbiarin penumpang terkapar di dalam angkot, ya kalo lagi gak butuh cepet..lha kalo butuhnya cepet oh no.."
" kenapa neng kok mukanya bete gitu, bareng aja yuk " sebuah sepeda motor berenti di depan melia.
" rendiii.. " merasa mendapat bala bantuan melia tersenyum lebar.
----------------------
ari terlihat gusar melihat jam di tangannya sudah menunjukkan angka 19:30 dan sekali kali dia melihat layar handphonenya menunggu jawaban dari melia, beberapa sms dan telponpun di layangkan kepada melia tapi tak satupun di balasnya.
" dimana kamu "
jam 20:00
" apa maksud dia, apa yang terjadi " pikiran burukpun menghampiri ari, aripun bergegas keluar dari cafe tempat biasanya dia datang berdua dengan melia.
di tancapnya gas motor dengan sedikit tergesa - gesa sambil melihat kanan kiri, dan pandangannya jatuh ke salah satu cafe terbuka, dilihatnya melia dan rendi sedang bersenda gurau berdua.
sakit, kecewa, entah perasaan apalagi yang berkecambuk di hari ari melihat pemandangan ini, di tinggalkannya tempat itu dengan kecepatan tinggi.
----------------------
" kenapa kamu belum mau ketemu ari li "
pertanyaan itu sukses membuatnya terdiam dan pastinya jantung melia berdetak lebih cepat dari biasanya.
tak mendapat jawaban rendipun mengalihkan pembicaraannya
" melia melia kenapa kamu suka capucino ? " pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tidak penting.
" lembut, hangat, harum kayak aku " kata melia sambil tersenyum centil.
gemas dengan jawaban melia rendipun mengacak - acak rambut melia.

Tuesday, November 26, 2013

Proyek Kroyokan 3



"Setengah delapan lewat delapan menit" ucap melia dalam hati, sembari menatap layar laptop untuk melanjutkan pekerjaan yang akan mencapai deadline pukul 24.00 tepat nanti. Sejenak pikirannya melayang ke pertemuan beberapa saat lalu dengan Rendi. Mengingat ucapannya jika Ary mengharapkan sebuah pertemuan kembali dengannya.
44 menit beranjak dari pukul 7 malam dan Melia masih saja melamun di depan laptopnya. Sesuatu berkecamuk dalam batinnya, antara ingin lari dari bayangan Ary dan rasa ingin tahu keadaan mantan kekasihnya tersebut, untuk mengetahui alasan sebanarnya mengapa Ary dan dia secara tiba-tiba harus berpisah. Alasan yang sebenarnya juga ingin Melia sampaikan kepada Ary mengapa dia meninggalkannya tanpa sebab yang tidak dapat dimengerti oleh Ary.
Hampir satu jam Melia terdiam di kamarnya, di depan laptop yang sedari tadi telah dia campakkan untuk mengarungi kenangan bersama Ary. Seketika dia tersadar dari lamunannya. Udara terasa menyesakkan untuknya saat ini. "Aku butuh kafein" pikirnya. Lalu dia beranjak, menuju dapur apartemennya. Secangkir kopi hitam dengan sedikit gula dibuatnya untuk menemani hingga akhir malam ini.
Setengah jam sebelum deadline yang ditentukan, semua file telah dikirim melalui e-mail. Dan Melia pun langsung menuju tempat tidurnya, "melelahkan sekali hari ini" ujarnya.
Beberapa blok dari apartemen Melia, Ary tengah duduk di balkon rumahnya. Bertemankan kopi pahit dan alunan sendu True love waits milik Radio Head yang terputar dari perangkat audio di kamarnya pikirannya tertuju pada Melia.
Di depan semua orang Ary dapat menyembunyikan perasaannya dengan bersikap acuh dan memilih untuk menyendiri diantara buku-buku. Namun bayangan Melia tak pernah pernah bisa berhenti mengganggunya. Sosok wanita istimewa yang mengisi seluruh ruang di hatinya itu, yang lalu meninggalkannya tanpa alasan yang dapat diterima olehnya. Sosok wanita yang telah membuat luka di hati Ary dengan kepergiannya, namun tak pernah sedikitpyn Ary kehilangan rasa cintanya kepada Melia.
Pandangannya tertuju pada handphone di sebelah kursi tempatnya tengah melamun. Ingin sekali dia menghubungi Melia sekali lagi meskipun telah berpuluh kali pesan dan telponnya tak mendapat respon yang positif. Namun sekali lagi dia ragu apakah gadis pujaannya akan membalas pesannya ataukan satu kekecewaan lagi yang akan dia peroleh. Hal ini membuatnya gentar. Dengan suasana hati yang masih tak menentu dinyalakannya sebatang kretek dan dihisapkanya dalam-dalam sambil memejamkan mata. Bagaikan slide film cinta yang lama dia mengingat kembali kebahagiannya bersama Melia, perasaan tenang saat bersamanya dan keceriaan yang selalu terpancar di mata gadis pujaannya. "Oohhh lama sekali waktu berlalu sejak saat itu" gumamnya. Sambil menyisakan sebuah isapan akhir pada kretek yang singgah di jemari tangan kanannya lagi-lagi matanya tertuju pada telepon seluler disampingnya. "Aku harus menghubungi Melia!!".
"Kamu mungkin sudah terlelap saat ini, maafkan aku jika mengganggumu. Tapi hatiku masih belum tenang jika belum bertemu denganmu dan menjelaskan semua yang terjadi diantara kita.." sebuah pesan yang agak berisi kalimat putus asa dikirimnya ke Melia. Hatinya telah siap menerima satu kekecewaan lagi.
Masih di balkon rumahnya tiba-tiba dering handphone-nya berbunyi. "1 message receive" dilihatnya di layar lcd. "Besok jam 7 malam di tempat biasa". Satu pesan singkat tanpa diduga berisi jawaban dari Melia. Hatinya berdebar. Tak disangka dia akan menerima balasan dari Melia.

***

Tuesday, November 19, 2013

Proyek Kroyokan 2

Rendi mengayunkan langkahnya menghampiri Ari yang sepertinya sama sekali tidak menyadari kedatangannya.
“Hey man,” sapanya agak keras.
Ari mengangkat kepala dari buku yang sedang dibacanya.
“Pernahkah kau mendengar kisah tentang Icarus?” tiba-tiba Ari bertanya kepadanya.
Rendi hanya terbelalak heran, “Tidak, kenapa memangnya?”
“Ceritanya kurang lebih seperti ini,” sambung Ari dengan bersemangat.
Rendi hanya memutar mata, “okay, here you are …”
“Daedalus adalah seorang penemu yang sangat brilian,…”
Ketika dilihatnya Rendi mengangkat alis tanda heran, Ari buru-buru menambahkan,
“… seperti Thomas Edison pada zamannya. Sayangnya, ia membuat marah Raja Minos, penguasa pulau Kreta, dan dia harus terusir keluar dari sana. Dalam keputusasaannya untuk melarikan diri dari pulau, Daedalus menggunakan lilin untuk membentuk beberapa sayap untuk dirinya sendiri dan untuk Icarus, anaknya. Daedalus memperingatkan anaknya untuk terbang pada ketinggian menengah, karena air laut akan menyusutkan sayap mereka dan sebaliknya matahari akan mencairkan sayap mereka.”
“Dongeng anak-anak?” tanya Rendi heran.
Ari hanya menggeleng dan meneruskan ceritanya, “Icarus mengindahkan nasihat ayahnya pada awalnya, tapi kemudian kesombongan merayapinya. Dia terlalu senang karena dia bisa terbang, dia melupakan peringatan ayahnya dan terbang terlalu dekat dengan matahari. Benar saja, sayapnya meleleh dan Icarus merosot ke laut dan tenggelam oleh sisa sayap yang membebaninya. Daedalus tentu saja hancur oleh kematian anaknya, but show must go on Rend.  Daedalus tetap melanjutkan perjalanannya. Dia melanjutkan terbang ke Sisilia, dan dalam rasa dukanya untuk Icarus dia membangun sebuah kuil untuk menghormati dewa Apollo.”
Rendi menggelengkan kepala melihat Ari kembali membenamkan hidungnya ke buku yang sama, si kutu buku itu tidak pernah berubah batinnya. Tergila-gila pada buku, dengan penampilannya yang kurus, dan berkacamata, serta suka bergumam tidak jelas, orang yang tidak kenal Ari dengan baik pasti akan mengira kalau Ari itu orang aneh. Padahal Ari sama sekali tidak aneh, selain Melia, Ari adalah sahabat Rendi sejak awal mereka bertemu kelas 1 SMA. Saat itu Ari sedang digencet oleh preman-preman di kelasnya dan secara kebetulan Rendi melihat hal itu dan menyelamatkannya, sekalipun saat itu Rendi harus membayar dengan mukanya yang babak belur karena perkelahian yang tidak seimbang. Rendi menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, ia mulai mengantuk di tengah kesunyian dan desir buku yang dibaca oleh orang-orang di perpustakaan siang itu.
“Bagaimana jika Icarus mati bukan karena kesombongannya?” Tanya Ari tiba-tiba, membuat Rendi yang sudah terkantuk-kantuk kembali membuka matanya.
Ari meletakkan buku yang dibacanya, dia berpikir-pikir. Bagaimana jika kisah tentang Icarus tadi tidak sepenuhnya benar. Karena kisah yang dibacanya lebih ke Legenda yang tentu saja sudah mengalami tambal sulam dalam perjalanannya. Dalam imajinasinya, Icarus tidak mati karena terlalu sombong. Dia mati karena sesuatu yang lain, rasa penasarannya mungkin. Diliriknya kertas kosong di sampingnya dan dia mulai menulis cerita versinya.
Icarus mengindahkan nasihat ayahnya pada awalnya, tapi kemudian sesuatu terjadi, selama penerbangan ia memiringkan kepalanya dan melihat cahaya terang dari matahari. Ia merasa penasaran terhadap cahaya yang melingkupinya, cahaya yang indah sekaligus menyilaukan. Pada saat itu, Icarus menyadari, dia menginginkan cahaya itu. Tapi pada saat yang sama ia juga menyadari hal lain, bahwa cahaya yang sama akan membunuhnya!  Apa yang harus dilakukan? Ia akan hidup karena tahu dia tidak akan mendapatkan kesempatan lain untuk bisa merangkul cahaya. Atau ia harus mati dan percaya kalau cahaya itu layak diraih? Logikanya tenggelam, hatinya menang! Dia mengepakkan sayapnya ke arah matahari, cukup yakin, kemudian sayapnya meleleh, dan Icarus merosot ke laut dan tenggelam oleh sisa sayap yang membebaninya.
“Ini, coba kamu baca cerita versiku.” Ari menyodorkan kertas yang berisi tulisannya ke Rendi yang menggumam tak jelas.
“Imajinasimu terlalu tinggi, kenapa kamu tidak mengirimkan naskahmu ke salah satu penerbit? Aku yakin, kamu bisa jadi pencerita dan pendongeng yang baik.” Kata Rendi pada akhirnya sebelum mereka berpisah di depan Perpustakaan Kota Malang sore itu.
Dalam perjalanan pulang, Ari kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia kembali teringat kisah tentang Icarus yang dibacanya. Cahaya yang dilihat Icarus adalah cahaya yang menyilaukan sekaligus indah. Seperti cahaya yang selalu dia lihat di mata Melia, perempuan yang bertahun-tahun dicintainya, ketika kemudian dia menyadari kalau rasa cintanya juga perlahan-lahan menenggelamkannya. Sama seperti Icarus yang mati karena ingin merengkuh cahaya, dia pun hampir mati karena cintanya yang terlalu dalam.
Hingga terjadi salah paham antara dia dan Melia, yang menyebabkan Melia tidak pernah mau lagi berbicara dengannya, melihatnya pun tidak. Sekalipun dia berkali-kali meminta maaf dan meminta Rendi untuk menyampaikan permohonan maafnya untuk Melia, Melia tetap bergeming dengan pendiriannya.

***

Monday, November 18, 2013

Project Kroyokan 1


Perlahan ia menyesap cappuccinonya, tatapannya tak lepas memandang rintik hujan yang kini hanya tinggal gerimis saja. Sesaat kemudian ia mengambil ponsel dari dalam saku, membaca pesan singkat yang tertera disana. Satu kata, membuatnya termangu dan menghelah nafas panjang.

- Maaf -

Pengumuman yang menyatakan bahwa dirinya harus segera boarding menyadarkannya dari lamunan. Tergesa ia menghabiskan cappuccino yang mulai mendingin dan me-non aktif-kan ponselnya sebelum memasukkannya kembali ke saku.

Mungkin keputusanku untuk kembali ke Malang benar-benar tepat. Pikirnya sambil bergegas masuk ke pesawat.

* * *

"Boleh aku duduk di sini?"

"Why not, monggo, silahkan"

Derai tawa mengiringi jawabannya yang mencampur adukkan segala bahasa.

"Apa kabarmu Mel?"

"Seperti yang kamu lihat, baik!"

"Lantas bagaimana dengan yang tak dapat aku lihat?"

"Hmmm, kamu selalu begitu."

"Kamu memang tampak baik-baik saja, tetap riang dan selalu cantik!"

"Tapi..."

"Tapi tatapan matamu nggak bisa bohong Mel. Atau setidaknya tidak bisa membohongiku"

"Aku masih berusaha Ndi, tapi tak semudah yang aku bayangkan."

"Nggak ada yang bilang akan mudah Mel, tapi jangan kamu bohongi dirimu sendiri. Kenapa kamu nggak coba minta penjelasan atau apalah. Kamu pernah bilang sama aku, berjuang buat dapetin cinta, sebelum menyesal, karena kehilangan tanpa perjuangan itu rasanya lebih sakit. Dan ya, apa yang kamu katakan memang benar, tapi kenapa sekarang justru lari dari cintamu?"

"Aku pasti berjuang untuk cintaku Ndi, jika cinta itu memang pantas untuk diperjuangkan."

“Jadi…”

“Jadi tak ada lagi yang perlu dibahas Ndi. Aku mau jalani ini semua dulu, dinikmati saja walau yang harus aku nikmati adalah rasa yang tidak enak.”

Rendi terdiam, walau tatapannya sebenarnya masih menyiratkan keinginan untuk menyela, sedang Melia seakan kembali asyik dengan laptopnya. Tetapi matanya tak lagi fokus, ia hanya menghindari tatapan mata Rendi.

Berteman selama hampir separuh usianya dengan Rendi membuat Melia seakan tak bisa lagi menyembunyikan apapun dari Rendi. Semua orang mungkin melihat Melia sebagai sosok yang extrovert, ceria, selalu bersemangat, tetapi di titik tertentu Melia seakan memiliki tombol dimana ia bisa dengan mudah dapat menyaring hal-hal yang tak seharusnya ditunjukkan pada orang lain. Saat ia menjadi Melia yang begitu tertutup, dan hanya Rendi lah yang mengetahui kapan tombol itu mulai digunakan oleh Melia.

Bagi Rendi, Melia bukan hanya sekedar sahabat, Melia adalah cinta monyetnya. Mereka pernah berpacaran, walau saat itu pacaran bagi mereka adalah berangkat dan pulang sekolah bersama, makan di kantin sekolah bersama, mengerjakan tugas sekolah bersama. Hanya sebuah kebersamaan, tanpa cinta. Hingga akhirnya ketika mereka mengenal cinta, justru cinta itu terpaut pada orang lain.

Melia tak banyak berganti pacar, beberapa kali ia hanya menjomblo selama selang waktu tertentu, hingga akhirnya ia berpacaran dengan seseorang yang satu kantor dengannya, di Jakarta. Namun hubungan itu harus berakhir justru saat mereka mulai merencanakan pernikahan.

Sedang Rendi, sejak mengenal cinta dia dikenal sebagai petualang cinta. Tak ada ia menambatkan cintanya lebih dari 6 bulan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjomblo saja walau tetap banyak gadis yang selalu mau diajaknya jalan walaupun tanpa ikatan.

Setelah beberapa saat mereka hanya diam, “Mel…”

“Hmmm…” Melia tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya, jemarinyapun tetap menari seakan tak ingin diganggu.

“Ari menghubungiku.”

Sedetik setelah Rendi mengatakan kalimat singkat itu Melia langsung menghentikan kegiatannya, tetapi tetap tak melepaskan pandangannya dari layar laptop.

“Dia ingin tahu kabarmu.”

“Untuk apa?” sedikit lirih kalimat itu keluar dari bibir Melia.

“Kamu tak membalas semua pesannya, kamu tak mengangkat teleponnya.”

“Bukankah itu akan membuat semuanya lebih mudah. Benar kan Ndi?”

“Dia ingin menjelaskan semuanya Mel.”

“Kamu tahu Ndi, terkadang dengan kita tidak tahu apa-apa itu menghindarkan kita dari sakit hati. Kamu nggak inginkan aku lebih sakit, Ndi?”

Akhirnya Rendi kembali terdiam, dan Melia kembali asyik dengan kerjaannya.

Project bersama

Blog ini terbentuk sebagai bagian dari project bersama berupa tulisan 'kroyokan'.

Tulisan 'kroyokan'? Bukan kumpulan cerpen ya, ini berbeda. Mungkin ini bukan yang pertama kalinya ada, karena ada beberapa teman yang sudah melakukannya. Misal sebuah novel yang ditulis oleh dua orang, bukan berupa cerita yang berdiri sendiri-sendiri tetapi mereka menulis bersama.

Nah, untuk project kali ini-pun begitu. Tetapi disini kontributornya/penulisnya sebanyak 7 orang.

Tiap-tiap orang akan mendapat gilirannya masing-masing, dimana mereka tidak membuat cerita sendiri-sendiri melainkan melanjutkan cerita yang dibuat dari kontributor sebelumnya. :)

Semoga project ini berjalan lancar, siapa tahu ada tindak lanjutnya. Amiiiin... :)