Saturday, May 24, 2014

Proyek Kroyokan 2.3

" Apa yang Amung lakukan di Malang " 
Sebaris kalimat yang sedari tadi menganggu pikiran Rendy. Semakin di pikirkan semakin Rendy tak mengetahui jawaban atas pertanyaannya.
" ah sudahlah bukan urusanku " sambil kembali berkutat pada pekerjaannya, tapi sayang semakin dia larut dalam pekerjaannya semakin dia tidak bisa konsentrasi.
Dan akhirnya Rendy menyerah pada kegundahannya, di hempaskan tubuhnya ke tempat tidur yang berada di kamarnya, sambil menatap atap kamarnya Rendy masih berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang menari - nari sedari tadi dalam benaknya.
sebuah nada dering membuatnya terlonjak, dilihatnya nama Anggun muncul di handphonenya.
" iya sayang "
Percakapan dengan Anggun membuat Rendy beralih dari pikirannya.
-----------------------------------------------
Bagaimana aku harus keluar dari pusara ini, aku tak mampu melawan hanya mengikuti arus yang tercipta.
" Ari " namanya selalu muncul di benak Melia, ada rasa sesak bercampur dengan penyesalan mendalam. Tak terasa sesuatu yang hangat mengalir di pipi melia yang berasal dari sepasang mata yang saat ini sedang lelah menatap sebuah sosok berkacamata di dalam bingkai foto yang bertengger di meja yang terletak di samping tempat tidurnya.
Di letakkanya bingkai itu di tempat semua sambil menaikkan kedua kakinya di tautkannya kedua tangannya melingkar di kedua kakinya sambil membenamkan wajahnya di antara kaki yang kini di peluknya.
Selintas wajah amung berkelebat di pikirannya membuatnya mengangkat kepalanya.
" mengapa dia kau hadirkan kembali Tuhan, membuka luka lama yang masih belum kering, aku masih belum mengetahui alasan dia membatalkan rencana pernikahan kita secara sepihak " 
---------------------------------------------------
ingin rasanya mendatangi Amung dan mempertanyakan alasan dia sering datang kemari, tapi egoku masih belum mau menanyakan itu kepadanya.
" mel.. kamu masih ada di sini kan " lambaian tangan amung menyadarkanku 
" hah " cuma kalimat itu yang muncul.
" aku ngajak kamu makan siang, kamu ada waktu gak? "
" eh.. aku mau makan siang bareng Anggun sama Rendy " 
" Boleh aku gabung dengan kalian ?"
tak punya alasan untuk menolaknya, akhirnya melia mengangguk 
--------------------------------------------
perasaan canggung kembali menelusup di benak melia, sembari menunggu Anggun dan Rendy akhirnya melia memutuskan untuk membeli capucino hangat yang menjadi minuman faforitnya.
" masih suka capucino ?" sebuah pertanyaan akhirnya meluncur dari mulut Amung.
Melia hanya mengangguk.
" Mel aku ingin meneruskan rencana pernikahan kita yang sempat terputus dulu, maaf kalau aku egois untuk memintamu kembali kepadaku "
Melia langsung menoleh kearah Amung yang saat itu sedang melihat ke arah Melia dengan tajam. Amung memang sosok orang yang selalu berbicara to the point tanpa ada basa basi. 
Melia hanya bisa melihat tanpa bisa berkata apapun, seperti ada yang menyangkut di tenggorokannya.
" aku mengerti kamu pasti akan terkejut dengan permintaan ini, tapi tolong kamu pikirkan permintaanku ini " sembari melangkah pergi meninggalkan Melia yang saat ini sedang syok atas pernyataan Amung yang memintanya untuk kembali.
Saat ini otak Melia serasa benar - benar tak berfungsi, otak ini seperti sedang menyusun kata-kata yang cocok untuk menggambarkan apa yang sedang menimpanya.
Seakan tidak kuat lagi menahan gejolak yang sedang bergemuruh, Meliapun berlari ke toilet dan menangis sejadinya berharap air mata yang di keluarkan membawa serta penat yang dia rasakan.
" Tuhan apa maksud dari semua ini " hanya sebuah kalimat ini yang terlontar dari benak Melia.

Tuesday, February 11, 2014

Proyek Kroyokan 2.2

“… Amung?”
“Hai Mel, apa kabar?” Amung mengulurkan tangan, ragu-ragu Melia menyambut salam Amung.
“Ada keperluan apa?” tanya Melia tanpa berbasa-basi.
Mendapat tanggapan Melia yang tidak diduganya, Amung mengangkat sebelah alisnya, “Aku kebetulan ada tugas di Surabaya. Denger-denger dari anak-anak yang di Jakarta, kamu punya café sekaligus bookstore di Malang. Jadi aku sengaja mampir ke sini…” Amung hampir menambahkan kata ‘problem?’ dengan nada sarkas khas yang biasa dipakainya, namun melihat wajah Melia berubah keruh, ia mengurungkan niat itu.
“Oh… sengaja mampir? Kabarku baik, seperti yang kamu lihat aku sibuk sekarang. Kalau kamu ngga ada keperluan lain, kamu bisa masuk dan baca-baca buku di sini sambil menikmati kopi. Karena aku harus melakukan beberapa hal di lantai 2, kamu tahu kan, urusan kerjaan.”
Sebelum Amung sempat mengatakan sesuatu atau menahan Melia lebih lama lagi, dia hanya bisa membiarkan Melia pergi dan bergegas masuk seolah-olah Melia ingin membuat jarak sejauh mungkin darinya.

***

Selama beberapa hari berikutnya Melia terpaksa bermain ‘kucing-kucingan’ dengan Amung, karena pria itu setiap hari masih berusaha untuk menemuinya lagi. Seperti pagi tadi, Melia mengendap-endap di belakang Amung yang sedang terpaku menghadap sebuah pigura yang berisi tulisan:

Yes. I am an illusion. Not real. Sooner or later you will forget about me.
Illusion will never be something real. Like a shadow, which will never get a body.
-Ari Rahardian-

Sejenak Melia lupa kalau dia sedang berusaha menghindar dari Amung ketika Amung membalikkan badan dan bertanya, “Siapa Ari Rahardian, Mel? Sepertinya dia yang memberi kehidupan di café ini. Dari kemarin aku lihat banyak kutipan-kutipan karyanya yang dipajang di sini.”
Melia menghela nafas panjang, “Ari… dia sahabatku yang sudah meninggal, yang punya cita-cita memiliki café sekaligus bookstore, dan aku di sini membantunya mewujudkan cita-citanya.”
Mereka berdua terdiam, ada jeda cukup lama sebelum Amung menambahkan kepada Melia, “Kamu ga keberatan kan, kalo aku melihat-lihat di sini lebih lama lagi? Aku suka pada suasana café dan koleksi buku-bukunya.” Melia seperti tersadar dari lamunannya, “Apa? Oh, silahkan saja. Tapi maaf aku tidak bisa menemani lama-lama. Aku benar-benar sedang banyak kerjaan sekarang.”
No problem,” kata Amung kemudian.

***

“Menurutmu, pesan gedung untuk acara pernikahan itu sebaiknya kapan?” Anggun bertanya kepada Melia sembari membolak balik majalah edisi khusus yang memuat segala hal tentang persiapan pernikahan. Ketika dilihatnya Melia seperti tidak mendengar kalimatnya barusan, dia memanggil Melia dengan suara agak keras, “Mel? Melia hei Meliaa…!” kali ini dikibaskan tangannya di depan Melia.
Melia lagi-lagi seperti tersadar dari lamunan, “Eh… apa? Pesan catering? Di si…” kata-katanya terpotong oleh Anggun, “Gedung Mel, gedung… udah ah lupakan… dilamar aja belum. Aku udah milih-milih tempat, haha” Anggun tertawa masam.
“Mel? ih kok bengong melulu daritadi? Perasaan sejak mantan tunangan kamu ke sini, kamu jadi sering bengong deh. Ati-ati ntar kesambet loh.” Lanjut Anggun bersungut-sungut karena Melia tidak fokus memperhatikannya.
“Mantan tunangan ya… iya ya, mantan tunangan…” gumam Melia tidak jelas.
“Mel? Hoi Meeeell… beneran kesambet ini orang kayaknya…” Anggun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Melia kali ini.

***

“Melia kesambet?” Rendi hampir menyemburkan kopi yang baru saja masuk mulutnya.
“Iya, jadi banyak bengong, ga fokus, malah kapan hari dia hampir memasukkan naskah-naskah yang baru di-print ke paper feeder. Dia jadi aneh sejak kedatangan Amung…” jelas Anggun panjang lebar ketika mereka berdua makan siang bersama di foodcourt Matos siang itu. Ketika dilihatnya Rendi mengerinyitkan dahi keheranan, dia menambahkan, “… tau kan Amung? Mantan tunangan Melia.”
“Ngapain Amung ke sini? Dia kan harusnya ada di Jakarta?” tanya Rendi kemudian.
“tauk…” Anggun hanya mengedikkan bahu, kemudian seperti teringat sesuatu, ia melanjutkan, “Daripada kita ngomongin orang lagi, gimana kalo kita ngomongin rencana kita selanjutnya?” Anggun menatap Rendi lekat-lekat.
Rendi terlihat gelagapan, “Ki-kita? Apanya yang kita?” ketika dilihatnya Anggun menundukkan kepala kecewa, Rendi terbahak dan mengacak-acak rambut Anggun dengan sayang.
“Nanti kita atur jadwal untuk ketemu mama sama papa kamu ya…” tambahnya dengan senyuman.

***

Saturday, January 18, 2014

Proyek Kroyokan 2.1

Dua tahun sejak buku Ari dan sudah beberapa kali cetak ulang. Kini Melia, yang ditunjuk oleh mama Ari sebagai orang yang mengurus royalti penjualan buku itu, semakin sibuk bukan hanya karena pekerjaannya sebagai editor maupun proofreader tetapi kini ia juga mengurus sebuah cafe baca. Cafe baca yang awalnya merupakan perwujudan cita-cita Ari, dan hanya berisi buku-buku koleksi Ari semakin besar berkat sumbangan dari teman-teman penulis bahkan juga dari penerbit.

Sebuah cafe yang juga menyediakan buku untuk dibaca dan dipinjamkan, terdiri dari dua lantai dimana lantai satu letak cafe baca itu sendiri sedang lantai dua digunakan untuk tempat para karyawan juga sebuah ruangan sebagai tempat kerja Melia. Walau memiliki ruangan tersendiri di lantai dua, Melia lebih senang menghabiskan waktunya di lantai satu.

"Pagi Mba' Mel. Oh ya kemarin ada teman yang mencari," sapa Wulan salah satu karyawan di cafe baca.
"Pagi, siapa Lan?" Sapa Melia menghentikan langkahnya yang hendak ke lantai dua.
"Wah, nggak tau mba'. Laki-laki, setahu saya baru pertama kali ke cafe ini. Saya minta hubungi saja ke handphone mba' Melia."
"Kamu kasih nomerku?"
"Nggak mba', laki-laki itu pergi setelah saya minta hubungi mba' Melia."
"Oke, makasi Wulan."

Sambil melangkah ke lantai dua, pikiran Melia masih memikirkan siapa laki-laki yang mencarinya kemarin. Jika itu temannya biasanya langsung menelpon, bahkan sebelum datang ke cafe mereka akan mengkonfirmasi terlebih dahulu keberadaan Melia. Dan kemarin tak ada temannya yang menelpon.

Setelah menebak-nebak dan tak membuahkan hasil, Melia kembali berkutat dengan pekerjaannya.

"Meeeeeeel..."

Sebuah suara yang sangat Melia kenal bahkan sebelum pemilik suara tampak ia sudah tau siapa yang datang.

"Apa Anggun sayaaaaaaang?"
"Huft! Bete nih. Rendi bener-bener deh, batalin janji seenaknya aja. Kemarin batal ganti hari ini, eh ini pagi belum juga pergi dah main batalin aja. Sibuk... Sibuk... Sibuk mulu!!!" Anggun langsung menghenyakkan pantatnya di salah satu sofa tempat biasa karyawan beristarahat, dan mengomel tanpa jeda sedetikpun.
"Yah, itukan juga demi kamu say. Katanya kamu pengen cepet nikah, kali dia kejar setoran sebelum ngelamar kamu dan mewujudkan pernikahan seperti impianmu?"
"Hah? Serius kamu? Emang Rendi ada cerita mau ngelamar aku ke kamu? Bener Mel?" Wajah kusut
Anggun mendadak berubah total, antara wajah penasaran dan bahagia.
"Nggak sih, pikirku aja."
"Heh? Iiiiiiiih, tega kamu buat aku berharap." Anggun menimpuk Melia dengan tissue yang sedari tadi digenggamnya.
"Hahahahaha, positif thinking aja kali Nggun."
"Lagian kan aku pengennya nikah nggak dirayain besar-besaran. Cukup undang kerabat dan sahabat aja, adain pesta kebun gitu tanpa yang formal-formal. Sama seperti..." tiba-tiba Anggun menghentikan kalimatnya.
"Seperti...??"
"Seperti..." sejenak Anggun ragu, "seperti pesta yang diinginkan oleh Ari."

Keheningan langsung menyergap mereka. Melia hanya menatap Anggun dengan pandangan yang bahkan oleh Anggun sendiri sukar untuk mengartikan.

***

"Kalau kalian menikah nanti, kalian ingin pesta yang bagaimana?" tanya Rendi sambil menatap pasangan yang tengah duduk dipelaminan tak henti tersenyum sambil menyalami tamu-tamu yang sepertinya tak ada habisnya, kakaknya.
"Aku ingin mengadakan pesta di tempat yang terbuka, bukan digedung seperti ini." Jawab Melia yang tengah asyik menikmati ice cream.
"Pesta kebun!" Celetuk Ari, sambil menatap Melia seakan tak ada Rendi disana. "Dan hanya dihadiri oleh kerabat dan sahabat. Ter-ba-tas." Lanjut Ari kali ini sambil menghapus noda di sudut bibir Melia.
"Pantai, orang tua dan sahabat. Itu saja. Ter-ba-tas." Senyum Melia terkembang sambil mengedipkan matanya pada Ari.

***

"Sedang Rendi ingin yang lebih simpel." Anggun coba memecahkan keheningan.
"Lebih simpel?" Melia mencoba kembali mengingat percakapan mereka, dirinya, Ari dan Rendi, dan ia tak dapat mengingat jawaban Rendi kala itu.
"Yup, dia..." Ucapan Anggun terputus, karena kedatangan Wulan.

"Maaf mba', temen mba' yang kemarin datang lagi, sekarang sedang menunggu di bawah."
"Siapa Mel?" Tanya Anggun.
"Entah, akupun tak tahu." Jawab Melia sambil memandang Wulan heran, dan bertanya "dia menunggu dimana Lan?"
"Di meja luar sebelah kiri"
"Oke, sebentar lagi saya turun."

Setelah merapikan meja kerjanya, Melia bergegas turun.

"Bentar ya, say..." Kata Melia.
"Take your time."
Saat Melia ada di ujung tangga siap untuk turun tiba-tiba Anggun berkata, "Mel, dia ingin menikah di pantai."
Langkah Melia terhenti, "dia?"
"Rendi, Mel... Udah ah, ntar aja aku ceritain lagi. Temuin dulu tamumu."

Melia turun dalam diam, saat sudah di bawah dan hendak melangkahkan kakinya ke tempat yang tadi disebutkan Wulan, matanya menangkap sesosok wajah yang hampir saja ia lupakan. "Amung?" Laki-laki yang secara sepihak membatalkan pernikahan mereka.

***