Thursday, December 19, 2013

Proyek Kroyokan 7

Setiap ada awal pasti ada akhir, dan tak akan ada akhir tanpa adanya awal. Dalam beberapa kasus, sebuah akhir menjadi sebuah awal. Awal yang pasti akan menuju akhir.

Dua bulan lalu Melia diberhentikan dari tempat kerjanya. Alasan pemutusan hubungan kerja tersebut karena Melia seringkali datang terlambat di kantor. Beberapa kali teguran berlanjut kepada tiga kali surat peringatan dan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja.

Setelah itu dia bekerja menjadi freelance editor di beberapa penerbit. Penghasilannya sekarang bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Beruntung dia memiliki banyak rekanan yang memberinya kesempatan. Tetapi sebenarnya, kemampuan Melia dalam melihat potensi sebuah naskah adalah hal yang menarik para penerbit itu untuk menggunakan jasanya. Beberapa penulis bahkan secara khusus memintanya menjadi proof reader naskah-naskah mereka.

* * *

"Sepertinya kamu semakin sibuk setelah jadi editor lepas", kata Rendi sebelum memasukkan beberapa batang kentang goreng sekaligus ke dalam mulutnya.
"Begitulah, seharusnya aku memilih pekerjaan ini lebih awal. Tak mengharuskan aku bangun pagi", jawab Melia sembari membetulkan letak kacamata yang dipakainya. Dia memakai kacamata itu secara permanen sejak dua tahun lalu, ketika karirnya sebagai editor lepas mulai menanjak.
"Jadi... Dimana temanmu?", tanya Rendi setelah dia melihat jam tangannya.
"Tunggu saja, Anggun pasti datang kok", jawab Melia dengan enteng. Sekarang sudah lima belas menit terlewat dari pukul dua belas siang, waktu yang dijanjikan Anggun untuk pertemuan ini.
"Jujur saja, aku tak menyangka...", Rendi menghentikan kalimatnya. Melia mengangkat sebelah alisnya, menunggu lanjutan kalimat itu. "Aku tak menyangka jika Anggun itu sahabat Ari. Kupikir selain kita berdua, sahabat Ari hanyalah tumpukan buku di perpustakaan", Rendi melanjutkan kalimatnya dengan suara yang dalam dan rendah. Seperti ada yang menyumbat tenggorokannya.
"Sudahlah, Ren. Tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal", Melia menjawab lirih. Sebuah kalimat yang mengakhiri diam mereka.

* * *

Malam itu adalah pertemuan pertama Melia dengan Ari sejak dia kembali ke Malang. Juga pertemuan pertama setelah Melia memutuskan hubungan asmara di antara mereka. Melia melihat ada beberapa hal yang berubah pada diri Ari, terutama hal penampilan. Dia terlihat jauh lebih modis dibandingkan saat terakhir mereka bertemu. Juga dalam percakapan, tak lagi berfokus pada kisah-kisah legenda dan mitologi. Walau awalnya kikuk, pertemuan itu berlangsung santai, membuat Melia untuk pertama kalinya merasa nyaman bersama dengan Ari.

Tetapi di balik perubahan itu, Melia tetap menyadari satu hal yang tidak berubah pada diri Ari. Tertutup. Bahkan sekarang Melia merasa Ari lebih pandai dalam menutup perasaannya. Tapi itulah Ari, seorang kutu buku yang introvert. Kepribadian Ari itu juga yang menjadi alasan Melia mengakhiri hubungan mereka.

Sebelum pertemuan itu, Melia sangat yakin jika Ari akan mengajaknya kembali menjalin asmara. Dia merasa muak memikirkan kemungkinan itu. Bahkan dia berencana langsung pergi jika Ari benar-benar mengatakan hal itu. Tetapi pada akhirnya, dialah yang berharap Ari akan mengajaknya kembali.

Sayang sekali, harapannya itu tak kunjung terwujud. Bahkan dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya tak ada ajakan dari Ari untuk kembali menjalin asmara. Hal ini mulai menyiksa Melia.

"Nanti malam? Bisa! Aku pasti datang", jawab Ari dengan antusias.
"Oke. Sampai ketemu nanti", kata Melia mengakhiri percakapan singkat di telepon.

Aku pasti sudah gila!, batin Melia. Ini pertama kalinya dia yang mengajak Ari untuk bertemu. Tetapi kegilaan ini akan segera berakhir. Malam ini Melia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya kepada Ari. Dia tak lagi peduli, pesona Ari telah benar-benar membuatnya kembali jatuh cinta. Luar biasa bagaimana perkembangan Ari mampu mengubah penilaiannya.

Malam ini, siksaan di hati Melia akan berakhir.

Hampir dua jam Melia duduk di kafe itu dengan gelisah. Sudah selarut ini dan Ari belum juga datang. Belasan kali SMS dan panggilan teleponnya tak mendapatkan respon. Melia merasa kesal. Tiba-tiba saja sebuah pikiran hadir di benaknya, inikah yang dirasakan Ari ketika aku tak pernah menanggapi SMS dan panggilannya? Rasa kesalnya kini menjadi sesal. Mungkin inilah balasan atas sikap egois yang pernah ditunjukkannya.

Sebuah panggilan dari Ari membuat langkahnya menuju halte terhenti. Dengan antusias dia segera menjawabnya.
"Halo, Ari. Kamu kemana saja? Aku nungguin dari tadi. Sekarang aku mau pulang nih...", cerocosnya.
"Selamat malam, kami dari Satlantas Polres Malang. Kami ingin mengabarkan saudara Ari Rahardian mengalami kecelakaan lalu lintas di LA Sucipto. Saat ini yang bersangkutan berada di kamar mayat RSUD dr. Saiful Anwar. Kami mohon..."

Melia tak lagi memperhatikan apa yang dikatakan oleh petugas kepolisian tersebut. Dia berbalik dan berlari menuju beberapa taksi yang terparkir di dekat kafe.

* * *

"Mel... Halooo...", panggil Rendi sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Melia.
"Hah...?? Iya...??", Melia gelagapan begitu tersadar dari lamunannya. Dia lebih gelagapan ketika melihat Anggun sudah berdiri di sisi meja mereka.
"Kamu melamun atau tertidur sih?", goda Anggun.
"Maaf, maaf...", muka Melia memerah. Dia berdiri, bersalaman dan memberikan cipika cipiki kepada temannya tersebut. Setelah bersalaman dengan Rendi, Anggun duduk di sebelah Melia.
"Maaf aku terlambat, jadi langsung to the point saja. Aku ingin memberikan ini padamu", kata Anggun sambil mengeluarkan sebuah amplop besar tertutup.
"Naskah?", kata Melia setelah menerima amplop itu.
"Ya. Aku baru saja selesai menyusun dan merapikannya, dan hanya kamu yang pantas menjadi editornya", jawab Anggun.

Melia membuka amplop itu, dikeluarkannya setumpuk kertas dengan berbagai ukuran yang disatukan dengan sebuah paperclip besar. Seluruh kertas tersebut penuh dengan tulisan tangan. Beberapa coretan menghiasi beberapa lembar di antaranya. Di halaman paling depan tertulis:
"Me, Icarus"
-written by Ari Rahardian-


* F * I * N *

Thursday, December 12, 2013

Proyek Kroyokan 6

"Mungkin ini tak akan banyak membantu, tapi tetap harus ada penjelasan untuk semua ini. Kesalahpahaman yang terjadi selama beberapa tahun ini." Dia bergumam sendiri sambil memainkan telpon selulernya. Satu nomor yang siap dihubungi sudah terpilih, tinggal menekan tombol 'calling' atau 'back'. Satu hal yang mudah, namun untuk mengawalinya sedikit susah, harus dari mana.
"Ahh sudahlah, itu urusan belakangan.. yang penting aku harus bisa bertemu dengan Melia lagi.."
Sekelebatan bayangan sosok Melia yang sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini membuatnya tak tenang, seakan membawanya kembali ke masa lalu. Mengingatkannya pada kesalahan yang cukup fatal, yang menyebabkan hubungannya dengan Melia jadi renggang sampai akhirnya menjauh dan untuk beberapa saat kehilangan komunikasi dengan Melia.

'Calling Melia'

---

“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?” tanya seseorang diseberang sana saat panggilan diterima, setelah menunggu cukup lama. Orang itu tidak lain adalah Melia.
“Ini Melia kan?" sedikit ragu dan coba memastikan.
Begitu mendengar suara itu, Melia terdiam. Dia seperti akrab dengan suara itu, tapi siapa? Nomor yang disembunyikan membuatnya tak bisa mengenali.
"Iya, ini siapa ya?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, penting, kapan kamu ada waktu luang?" Begitu to the point, tanpa basa basi.

---

Melia ada di tempat ini lagi, setelah sekian lama. Salah satu tempat yang pernah membuat Melia merasa nyaman nongkrong untuk waktu yang lama. Tempat ini bukan sekedar tempat dia menghabiskan waktu beberapa jam dengan minuman favoritnya, tapi juga tempat yang penuh kenangan. Dan sekarang dia duduk berseberangan dengan seseorang yang pernah jadi orang spesial untuknya. Tapi itu dulu.

"Masih tetap pecinta cappuccino rupanya.." dia coba mengawali pembicaraan dalam situasi yg benar-benar tampak canggung.
"Tetap dan akan selalu" jawab Melia singkat.
Ari tersenyum, Melia bisa melihtnya sekalipun pencahayaan di tempat itu tidak begitu bagus, di bawah lampu kekuningan.
"Berarti nggk banyak yang berubah yaa dari diri kamu"
"Hmm, pernyataan yang sok tau" gumam Melia dalam hati.
"Nggk juga.." kemudian Melia mengangkat gelas dan meneguk cappuccinonya..
Entah kenapa tiba-tiba Melia merasa gugup. Apa karena ini pertemuan pertamanya dengan Ari setelah sekian lama? Atau karena hal lain? Melia tak tahu. "Iya juga sih, dari penampilan kamu kelihatan beda banget.. lebih dewasa.."
oow ow, Melia hmpir tersedak mendengarnya.
"Selebihnya aku tak tau.. hhe Hhe.." sambung Ari.
Melia hanya meringis.
Setelah itu kalimat-kalimat singkat yang terlontarkan. Pertemuan malam ini sekedar awal pembuka pertemuan kembali.
Ari dan Melia lebih banyak saling diam, tanpa tau apa yang dirasakan dan apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Yang jelas, Melia sedang tak ingin memikirkan apapun. Termasuk alasan yang membuatnya sampai bisa berada disini.
Melihat gerak-gerik Melia, Ari urung mengutarakan maksudnya, langsung pada inti.
"Mungkin biarkan dulu seperti ini, aku baru saja bisa bertemu kembali dengan Melia, aku tak ingin merusak situasi ini"

---

Tuesday, December 3, 2013

Proyek Kroyokan 5

Beberapa saat sabelumnya, Ari menunggu Melia selama dua jam di cafe yang tujuh tahun silam menjadi tempat faforit yang  mereka berdua kunjungi. Dengan penuh rasa kecewa, harapannya semakin surut terkikis oleh malam yang kian larut. Ia sadar penantiannya selama dua jam itu hanyalah sia-sia. Sampai akhirnya ia keluar dari cafe dan  menancap gas motornya.

Tak jauh keluar dari tempat parkir, ia tak sengaja melihat Melia dan Rendi di sebuah cafe terbuka Coffe Toffe yang terletak di teras Matos, sebuah mall yang didirikan pada pertengahan tahun 2005. Ia terkejut dan langsung mematikan mesin motornya. Ari menatap dari kejahuan dan ingin mendatangi mereka berdua di mejanya, namun niatan itu urung Ari lakukan. Ia takut suasana akan semakin buruk.
“Mel, aku kangen banget sama kamu. Aku ingin sekali bertemu sama kamu. Aku ingin menjelaskan alasanku beberapa tahun yang lalu. Tapi kamu sepertinya hanya ingin membalasku atas rasa sakitmu karena aku. Dan kamu telah berhasil. Apa mungkin Rendi mengambil kesempatan seperti ini untuk mendekati Melia?” Tiba-tiba Ari berpikiran ada hubungan di antara Melia dan Rendi.
“Tapi ahhh tak mungkin seperti itu.” Ia segera menghilangkan pikiran negatifnya.
“Hai Ar..” tepukan tepat di pundak itu membuyarkan pikirannya.
“Eh, kamu Nggun. Kamu benar-benar mengagetkanku. Sedang apa kamu di sini?”
“Ehhm, aku habis berbelanja dari Matos. Biasa shopping Ar.” Ari tak menyangka tanpa sengaja bisa bertemu dengan Anggun di sana.
“Sudah lama ya kita tak bertemu, bagaimana kabarmu sekarang? Setelah lulus kuliah kita tak ada komunikasi lagi.” Anggun bukan asli warga kota Malang, ia pendatang. Ia berasal dari luar jawa,  karena pekerjaannya ia menetap di Malang.
“Oh iya tidak enak rasanya kita ngobrol di tempat seperti ini. Ayo kita ngopi bentar di sini, Ar!” Anggun mengajak ari masuk ke mall itu namun Ari tak mau karena di sana ada Melia dan Rendi. Anggun tak tahu kalau mereka ada di sana. Dan Ari sengaja tidak memberitahunya. Karena kalau tidak, Anggun pasti akan mengajaknya untuk bergabung bersama mereka.

“Kebetulan di ujung jalan ada sebuah cafe kecil. Kita ngobrolnya di sana aja.” Ari mengajak Anggun untuk ngopi di cafe yang lain dan mereka berdua melanjutkan malam itu dengan percakapan yang panjang. Anggun merupakan teman sekampus Ari, yang juga sama dengan Melia dan Rendi. Mereka bertemu di sebuah acara kampus saat masih di bangku kuliah.  Sehingga mereka berempat saling mengenal.
………………….
Seperti biasanya Melia selalu tergesa-gesa menuju ke tempat kerjanya. Alarmnya tak pernah berhasil untuk membuatnya bangun tepat waktu. Sebagai seorang senior editor ia yang paling bertanggung jawab atas hasil publikasi yang diciptakan. Ia bertanggung jawab mulai dari administrasi, menulis dan merancang serta mendistribusikan suatu tulisan. Ia bertugas mencari naskah yang berbobot kemudian menyuntingnya menjadi naskah yang baik agar tulisan mudah dimengerti oleh pembaca.
Melia langsung mencari Anggun di ruang kerjanya. Karena ia lah teman Melia yang paling dekat di kantornya. Karena mereka sudah kenal saat mereka kuliah. Anggun yang memberi informasi lowongan pekerjaan kepada Melia sampai mereka akhirnya menjadi teman sekantor. Namun mereka di bagian yang berbeda.
“Nggun, jahat banget kamu! Kok aku tadi ndak kamu bangunin. Aku jadi telat deh tadi. Oh iya  tadi malam kamu pulang pukul berapa? Aku menunggumu sampai tertidur.” Suara Melia membrondong lantang seperti bunyi petasan saat mereka menikmati makan siang di kantin.
“Siapa bilang aku tak membangunkanmu? Aku sudah membangunkanmu berkali-kali tapi kamu hanya menjawabku dengan kata “iya” dan tidur lagi. Tadi malam aku hanya jalan-jalan di Matos belanja keperluan sehari-hari dan cari angin sebentar.” Ia menceritakan semuanya pada Melia namun  ia sengaja tak mengatakan pertemuannya dengan Rendi di cafe kemarin malam.

“Loh, kok sama. Aku  juga kemarin juga ke Matos ngopi sama Rendi. Aku tiba-tiba ingin menikmati secangkir cappuccino yang menenangkan dan menghilangkan lelah yang melanda akibat kerja seharian. Cuma ngobrol sebentar sih dan langsung kembali ke apartemen karena aku sudah ngantuk. Karena kebetulan tugasku sudah selesai jadi aku bisa tidur lebih awal. Tapi kenapa ya tetap saja aku tidak bisa bangun pagi.”
“Akh emang kamu saja yang sudah terbiasa tidak bisa bangun pagi Mel.” Goda Anggun tanpa tanggung-tanggung.
Beberapa saat kemudian ponsel Melia berbunyi. Ia segera melihat layar ponselnya. Namun ia tak segera mengangkat telepon tersebut.
“Privat number – Siapa kira-kira ini ya? Jangan-jangan teroris nih.” Kata Melia hingga akhirnya ia mengangkat telepon tersebut.
“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?”
“Ini Melia kan?” Nada suara itu terdengar ragu-ragu diucapkan. Melia terdiam dan berfikir sejenak. Ia sepertinya tidak asing dengan suara dari telepon itu.
***