Thursday, December 19, 2013
Proyek Kroyokan 7
Thursday, December 12, 2013
Proyek Kroyokan 6
"Mungkin ini tak akan banyak membantu, tapi tetap harus ada penjelasan untuk semua ini. Kesalahpahaman yang terjadi selama beberapa tahun ini." Dia bergumam sendiri sambil memainkan telpon selulernya. Satu nomor yang siap dihubungi sudah terpilih, tinggal menekan tombol 'calling' atau 'back'. Satu hal yang mudah, namun untuk mengawalinya sedikit susah, harus dari mana.
"Ahh sudahlah, itu urusan belakangan.. yang penting aku harus bisa bertemu dengan Melia lagi.."
Sekelebatan bayangan sosok Melia yang sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini membuatnya tak tenang, seakan membawanya kembali ke masa lalu. Mengingatkannya pada kesalahan yang cukup fatal, yang menyebabkan hubungannya dengan Melia jadi renggang sampai akhirnya menjauh dan untuk beberapa saat kehilangan komunikasi dengan Melia.
'Calling Melia'
---
“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?” tanya seseorang diseberang sana saat panggilan diterima, setelah menunggu cukup lama. Orang itu tidak lain adalah Melia.
“Ini Melia kan?" sedikit ragu dan coba memastikan.
Begitu mendengar suara itu, Melia terdiam. Dia seperti akrab dengan suara itu, tapi siapa? Nomor yang disembunyikan membuatnya tak bisa mengenali.
"Iya, ini siapa ya?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, penting, kapan kamu ada waktu luang?" Begitu to the point, tanpa basa basi.
---
Melia ada di tempat ini lagi, setelah sekian lama. Salah satu tempat yang pernah membuat Melia merasa nyaman nongkrong untuk waktu yang lama. Tempat ini bukan sekedar tempat dia menghabiskan waktu beberapa jam dengan minuman favoritnya, tapi juga tempat yang penuh kenangan. Dan sekarang dia duduk berseberangan dengan seseorang yang pernah jadi orang spesial untuknya. Tapi itu dulu.
"Masih tetap pecinta cappuccino rupanya.." dia coba mengawali pembicaraan dalam situasi yg benar-benar tampak canggung.
"Tetap dan akan selalu" jawab Melia singkat.
Ari tersenyum, Melia bisa melihtnya sekalipun pencahayaan di tempat itu tidak begitu bagus, di bawah lampu kekuningan.
"Berarti nggk banyak yang berubah yaa dari diri kamu"
"Hmm, pernyataan yang sok tau" gumam Melia dalam hati.
"Nggk juga.." kemudian Melia mengangkat gelas dan meneguk cappuccinonya..
Entah kenapa tiba-tiba Melia merasa gugup. Apa karena ini pertemuan pertamanya dengan Ari setelah sekian lama? Atau karena hal lain? Melia tak tahu. "Iya juga sih, dari penampilan kamu kelihatan beda banget.. lebih dewasa.."
oow ow, Melia hmpir tersedak mendengarnya.
"Selebihnya aku tak tau.. hhe Hhe.." sambung Ari.
Melia hanya meringis.
Setelah itu kalimat-kalimat singkat yang terlontarkan. Pertemuan malam ini sekedar awal pembuka pertemuan kembali.
Ari dan Melia lebih banyak saling diam, tanpa tau apa yang dirasakan dan apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Yang jelas, Melia sedang tak ingin memikirkan apapun. Termasuk alasan yang membuatnya sampai bisa berada disini.
Melihat gerak-gerik Melia, Ari urung mengutarakan maksudnya, langsung pada inti.
"Mungkin biarkan dulu seperti ini, aku baru saja bisa bertemu kembali dengan Melia, aku tak ingin merusak situasi ini"
---
Tuesday, December 3, 2013
Proyek Kroyokan 5
Beberapa saat sabelumnya, Ari menunggu Melia selama dua jam di cafe yang tujuh tahun silam menjadi tempat faforit yang mereka berdua kunjungi. Dengan penuh rasa kecewa, harapannya semakin surut terkikis oleh malam yang kian larut. Ia sadar penantiannya selama dua jam itu hanyalah sia-sia. Sampai akhirnya ia keluar dari cafe dan menancap gas motornya.
Tak jauh keluar dari tempat parkir, ia tak sengaja melihat Melia dan Rendi di sebuah cafe terbuka Coffe Toffe yang terletak di teras Matos, sebuah mall yang didirikan pada pertengahan tahun 2005. Ia terkejut dan langsung mematikan mesin motornya. Ari menatap dari kejahuan dan ingin mendatangi mereka berdua di mejanya, namun niatan itu urung Ari lakukan. Ia takut suasana akan semakin buruk.
“Mel, aku kangen banget sama kamu. Aku ingin sekali bertemu sama kamu. Aku ingin menjelaskan alasanku beberapa tahun yang lalu. Tapi kamu sepertinya hanya ingin membalasku atas rasa sakitmu karena aku. Dan kamu telah berhasil. Apa mungkin Rendi mengambil kesempatan seperti ini untuk mendekati Melia?” Tiba-tiba Ari berpikiran ada hubungan di antara Melia dan Rendi.
“Tapi ahhh tak mungkin seperti itu.” Ia segera menghilangkan pikiran negatifnya.
“Hai Ar..” tepukan tepat di pundak itu membuyarkan pikirannya.
“Eh, kamu Nggun. Kamu benar-benar mengagetkanku. Sedang apa kamu di sini?”
“Ehhm, aku habis berbelanja dari Matos. Biasa shopping Ar.” Ari tak menyangka tanpa sengaja bisa bertemu dengan Anggun di sana.
“Sudah lama ya kita tak bertemu, bagaimana kabarmu sekarang? Setelah lulus kuliah kita tak ada komunikasi lagi.” Anggun bukan asli warga kota Malang, ia pendatang. Ia berasal dari luar jawa, karena pekerjaannya ia menetap di Malang.
“Oh iya tidak enak rasanya kita ngobrol di tempat seperti ini. Ayo kita ngopi bentar di sini, Ar!” Anggun mengajak ari masuk ke mall itu namun Ari tak mau karena di sana ada Melia dan Rendi. Anggun tak tahu kalau mereka ada di sana. Dan Ari sengaja tidak memberitahunya. Karena kalau tidak, Anggun pasti akan mengajaknya untuk bergabung bersama mereka.
“Kebetulan di ujung jalan ada sebuah cafe kecil. Kita ngobrolnya di sana aja.” Ari mengajak Anggun untuk ngopi di cafe yang lain dan mereka berdua melanjutkan malam itu dengan percakapan yang panjang. Anggun merupakan teman sekampus Ari, yang juga sama dengan Melia dan Rendi. Mereka bertemu di sebuah acara kampus saat masih di bangku kuliah. Sehingga mereka berempat saling mengenal.
………………….
Seperti biasanya Melia selalu tergesa-gesa menuju ke tempat kerjanya. Alarmnya tak pernah berhasil untuk membuatnya bangun tepat waktu. Sebagai seorang senior editor ia yang paling bertanggung jawab atas hasil publikasi yang diciptakan. Ia bertanggung jawab mulai dari administrasi, menulis dan merancang serta mendistribusikan suatu tulisan. Ia bertugas mencari naskah yang berbobot kemudian menyuntingnya menjadi naskah yang baik agar tulisan mudah dimengerti oleh pembaca.
Melia langsung mencari Anggun di ruang kerjanya. Karena ia lah teman Melia yang paling dekat di kantornya. Karena mereka sudah kenal saat mereka kuliah. Anggun yang memberi informasi lowongan pekerjaan kepada Melia sampai mereka akhirnya menjadi teman sekantor. Namun mereka di bagian yang berbeda.
“Nggun, jahat banget kamu! Kok aku tadi ndak kamu bangunin. Aku jadi telat deh tadi. Oh iya tadi malam kamu pulang pukul berapa? Aku menunggumu sampai tertidur.” Suara Melia membrondong lantang seperti bunyi petasan saat mereka menikmati makan siang di kantin.
“Siapa bilang aku tak membangunkanmu? Aku sudah membangunkanmu berkali-kali tapi kamu hanya menjawabku dengan kata “iya” dan tidur lagi. Tadi malam aku hanya jalan-jalan di Matos belanja keperluan sehari-hari dan cari angin sebentar.” Ia menceritakan semuanya pada Melia namun ia sengaja tak mengatakan pertemuannya dengan Rendi di cafe kemarin malam.
“Loh, kok sama. Aku juga kemarin juga ke Matos ngopi sama Rendi. Aku tiba-tiba ingin menikmati secangkir cappuccino yang menenangkan dan menghilangkan lelah yang melanda akibat kerja seharian. Cuma ngobrol sebentar sih dan langsung kembali ke apartemen karena aku sudah ngantuk. Karena kebetulan tugasku sudah selesai jadi aku bisa tidur lebih awal. Tapi kenapa ya tetap saja aku tidak bisa bangun pagi.”
“Akh emang kamu saja yang sudah terbiasa tidak bisa bangun pagi Mel.” Goda Anggun tanpa tanggung-tanggung.
Beberapa saat kemudian ponsel Melia berbunyi. Ia segera melihat layar ponselnya. Namun ia tak segera mengangkat telepon tersebut.
“Privat number – Siapa kira-kira ini ya? Jangan-jangan teroris nih.” Kata Melia hingga akhirnya ia mengangkat telepon tersebut.
“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?”
“Ini Melia kan?” Nada suara itu terdengar ragu-ragu diucapkan. Melia terdiam dan berfikir sejenak. Ia sepertinya tidak asing dengan suara dari telepon itu.
***