Thursday, December 19, 2013

Proyek Kroyokan 7

Setiap ada awal pasti ada akhir, dan tak akan ada akhir tanpa adanya awal. Dalam beberapa kasus, sebuah akhir menjadi sebuah awal. Awal yang pasti akan menuju akhir.

Dua bulan lalu Melia diberhentikan dari tempat kerjanya. Alasan pemutusan hubungan kerja tersebut karena Melia seringkali datang terlambat di kantor. Beberapa kali teguran berlanjut kepada tiga kali surat peringatan dan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja.

Setelah itu dia bekerja menjadi freelance editor di beberapa penerbit. Penghasilannya sekarang bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Beruntung dia memiliki banyak rekanan yang memberinya kesempatan. Tetapi sebenarnya, kemampuan Melia dalam melihat potensi sebuah naskah adalah hal yang menarik para penerbit itu untuk menggunakan jasanya. Beberapa penulis bahkan secara khusus memintanya menjadi proof reader naskah-naskah mereka.

* * *

"Sepertinya kamu semakin sibuk setelah jadi editor lepas", kata Rendi sebelum memasukkan beberapa batang kentang goreng sekaligus ke dalam mulutnya.
"Begitulah, seharusnya aku memilih pekerjaan ini lebih awal. Tak mengharuskan aku bangun pagi", jawab Melia sembari membetulkan letak kacamata yang dipakainya. Dia memakai kacamata itu secara permanen sejak dua tahun lalu, ketika karirnya sebagai editor lepas mulai menanjak.
"Jadi... Dimana temanmu?", tanya Rendi setelah dia melihat jam tangannya.
"Tunggu saja, Anggun pasti datang kok", jawab Melia dengan enteng. Sekarang sudah lima belas menit terlewat dari pukul dua belas siang, waktu yang dijanjikan Anggun untuk pertemuan ini.
"Jujur saja, aku tak menyangka...", Rendi menghentikan kalimatnya. Melia mengangkat sebelah alisnya, menunggu lanjutan kalimat itu. "Aku tak menyangka jika Anggun itu sahabat Ari. Kupikir selain kita berdua, sahabat Ari hanyalah tumpukan buku di perpustakaan", Rendi melanjutkan kalimatnya dengan suara yang dalam dan rendah. Seperti ada yang menyumbat tenggorokannya.
"Sudahlah, Ren. Tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal", Melia menjawab lirih. Sebuah kalimat yang mengakhiri diam mereka.

* * *

Malam itu adalah pertemuan pertama Melia dengan Ari sejak dia kembali ke Malang. Juga pertemuan pertama setelah Melia memutuskan hubungan asmara di antara mereka. Melia melihat ada beberapa hal yang berubah pada diri Ari, terutama hal penampilan. Dia terlihat jauh lebih modis dibandingkan saat terakhir mereka bertemu. Juga dalam percakapan, tak lagi berfokus pada kisah-kisah legenda dan mitologi. Walau awalnya kikuk, pertemuan itu berlangsung santai, membuat Melia untuk pertama kalinya merasa nyaman bersama dengan Ari.

Tetapi di balik perubahan itu, Melia tetap menyadari satu hal yang tidak berubah pada diri Ari. Tertutup. Bahkan sekarang Melia merasa Ari lebih pandai dalam menutup perasaannya. Tapi itulah Ari, seorang kutu buku yang introvert. Kepribadian Ari itu juga yang menjadi alasan Melia mengakhiri hubungan mereka.

Sebelum pertemuan itu, Melia sangat yakin jika Ari akan mengajaknya kembali menjalin asmara. Dia merasa muak memikirkan kemungkinan itu. Bahkan dia berencana langsung pergi jika Ari benar-benar mengatakan hal itu. Tetapi pada akhirnya, dialah yang berharap Ari akan mengajaknya kembali.

Sayang sekali, harapannya itu tak kunjung terwujud. Bahkan dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya tak ada ajakan dari Ari untuk kembali menjalin asmara. Hal ini mulai menyiksa Melia.

"Nanti malam? Bisa! Aku pasti datang", jawab Ari dengan antusias.
"Oke. Sampai ketemu nanti", kata Melia mengakhiri percakapan singkat di telepon.

Aku pasti sudah gila!, batin Melia. Ini pertama kalinya dia yang mengajak Ari untuk bertemu. Tetapi kegilaan ini akan segera berakhir. Malam ini Melia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya kepada Ari. Dia tak lagi peduli, pesona Ari telah benar-benar membuatnya kembali jatuh cinta. Luar biasa bagaimana perkembangan Ari mampu mengubah penilaiannya.

Malam ini, siksaan di hati Melia akan berakhir.

Hampir dua jam Melia duduk di kafe itu dengan gelisah. Sudah selarut ini dan Ari belum juga datang. Belasan kali SMS dan panggilan teleponnya tak mendapatkan respon. Melia merasa kesal. Tiba-tiba saja sebuah pikiran hadir di benaknya, inikah yang dirasakan Ari ketika aku tak pernah menanggapi SMS dan panggilannya? Rasa kesalnya kini menjadi sesal. Mungkin inilah balasan atas sikap egois yang pernah ditunjukkannya.

Sebuah panggilan dari Ari membuat langkahnya menuju halte terhenti. Dengan antusias dia segera menjawabnya.
"Halo, Ari. Kamu kemana saja? Aku nungguin dari tadi. Sekarang aku mau pulang nih...", cerocosnya.
"Selamat malam, kami dari Satlantas Polres Malang. Kami ingin mengabarkan saudara Ari Rahardian mengalami kecelakaan lalu lintas di LA Sucipto. Saat ini yang bersangkutan berada di kamar mayat RSUD dr. Saiful Anwar. Kami mohon..."

Melia tak lagi memperhatikan apa yang dikatakan oleh petugas kepolisian tersebut. Dia berbalik dan berlari menuju beberapa taksi yang terparkir di dekat kafe.

* * *

"Mel... Halooo...", panggil Rendi sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Melia.
"Hah...?? Iya...??", Melia gelagapan begitu tersadar dari lamunannya. Dia lebih gelagapan ketika melihat Anggun sudah berdiri di sisi meja mereka.
"Kamu melamun atau tertidur sih?", goda Anggun.
"Maaf, maaf...", muka Melia memerah. Dia berdiri, bersalaman dan memberikan cipika cipiki kepada temannya tersebut. Setelah bersalaman dengan Rendi, Anggun duduk di sebelah Melia.
"Maaf aku terlambat, jadi langsung to the point saja. Aku ingin memberikan ini padamu", kata Anggun sambil mengeluarkan sebuah amplop besar tertutup.
"Naskah?", kata Melia setelah menerima amplop itu.
"Ya. Aku baru saja selesai menyusun dan merapikannya, dan hanya kamu yang pantas menjadi editornya", jawab Anggun.

Melia membuka amplop itu, dikeluarkannya setumpuk kertas dengan berbagai ukuran yang disatukan dengan sebuah paperclip besar. Seluruh kertas tersebut penuh dengan tulisan tangan. Beberapa coretan menghiasi beberapa lembar di antaranya. Di halaman paling depan tertulis:
"Me, Icarus"
-written by Ari Rahardian-


* F * I * N *

Thursday, December 12, 2013

Proyek Kroyokan 6

"Mungkin ini tak akan banyak membantu, tapi tetap harus ada penjelasan untuk semua ini. Kesalahpahaman yang terjadi selama beberapa tahun ini." Dia bergumam sendiri sambil memainkan telpon selulernya. Satu nomor yang siap dihubungi sudah terpilih, tinggal menekan tombol 'calling' atau 'back'. Satu hal yang mudah, namun untuk mengawalinya sedikit susah, harus dari mana.
"Ahh sudahlah, itu urusan belakangan.. yang penting aku harus bisa bertemu dengan Melia lagi.."
Sekelebatan bayangan sosok Melia yang sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini membuatnya tak tenang, seakan membawanya kembali ke masa lalu. Mengingatkannya pada kesalahan yang cukup fatal, yang menyebabkan hubungannya dengan Melia jadi renggang sampai akhirnya menjauh dan untuk beberapa saat kehilangan komunikasi dengan Melia.

'Calling Melia'

---

“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?” tanya seseorang diseberang sana saat panggilan diterima, setelah menunggu cukup lama. Orang itu tidak lain adalah Melia.
“Ini Melia kan?" sedikit ragu dan coba memastikan.
Begitu mendengar suara itu, Melia terdiam. Dia seperti akrab dengan suara itu, tapi siapa? Nomor yang disembunyikan membuatnya tak bisa mengenali.
"Iya, ini siapa ya?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, penting, kapan kamu ada waktu luang?" Begitu to the point, tanpa basa basi.

---

Melia ada di tempat ini lagi, setelah sekian lama. Salah satu tempat yang pernah membuat Melia merasa nyaman nongkrong untuk waktu yang lama. Tempat ini bukan sekedar tempat dia menghabiskan waktu beberapa jam dengan minuman favoritnya, tapi juga tempat yang penuh kenangan. Dan sekarang dia duduk berseberangan dengan seseorang yang pernah jadi orang spesial untuknya. Tapi itu dulu.

"Masih tetap pecinta cappuccino rupanya.." dia coba mengawali pembicaraan dalam situasi yg benar-benar tampak canggung.
"Tetap dan akan selalu" jawab Melia singkat.
Ari tersenyum, Melia bisa melihtnya sekalipun pencahayaan di tempat itu tidak begitu bagus, di bawah lampu kekuningan.
"Berarti nggk banyak yang berubah yaa dari diri kamu"
"Hmm, pernyataan yang sok tau" gumam Melia dalam hati.
"Nggk juga.." kemudian Melia mengangkat gelas dan meneguk cappuccinonya..
Entah kenapa tiba-tiba Melia merasa gugup. Apa karena ini pertemuan pertamanya dengan Ari setelah sekian lama? Atau karena hal lain? Melia tak tahu. "Iya juga sih, dari penampilan kamu kelihatan beda banget.. lebih dewasa.."
oow ow, Melia hmpir tersedak mendengarnya.
"Selebihnya aku tak tau.. hhe Hhe.." sambung Ari.
Melia hanya meringis.
Setelah itu kalimat-kalimat singkat yang terlontarkan. Pertemuan malam ini sekedar awal pembuka pertemuan kembali.
Ari dan Melia lebih banyak saling diam, tanpa tau apa yang dirasakan dan apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Yang jelas, Melia sedang tak ingin memikirkan apapun. Termasuk alasan yang membuatnya sampai bisa berada disini.
Melihat gerak-gerik Melia, Ari urung mengutarakan maksudnya, langsung pada inti.
"Mungkin biarkan dulu seperti ini, aku baru saja bisa bertemu kembali dengan Melia, aku tak ingin merusak situasi ini"

---

Tuesday, December 3, 2013

Proyek Kroyokan 5

Beberapa saat sabelumnya, Ari menunggu Melia selama dua jam di cafe yang tujuh tahun silam menjadi tempat faforit yang  mereka berdua kunjungi. Dengan penuh rasa kecewa, harapannya semakin surut terkikis oleh malam yang kian larut. Ia sadar penantiannya selama dua jam itu hanyalah sia-sia. Sampai akhirnya ia keluar dari cafe dan  menancap gas motornya.

Tak jauh keluar dari tempat parkir, ia tak sengaja melihat Melia dan Rendi di sebuah cafe terbuka Coffe Toffe yang terletak di teras Matos, sebuah mall yang didirikan pada pertengahan tahun 2005. Ia terkejut dan langsung mematikan mesin motornya. Ari menatap dari kejahuan dan ingin mendatangi mereka berdua di mejanya, namun niatan itu urung Ari lakukan. Ia takut suasana akan semakin buruk.
“Mel, aku kangen banget sama kamu. Aku ingin sekali bertemu sama kamu. Aku ingin menjelaskan alasanku beberapa tahun yang lalu. Tapi kamu sepertinya hanya ingin membalasku atas rasa sakitmu karena aku. Dan kamu telah berhasil. Apa mungkin Rendi mengambil kesempatan seperti ini untuk mendekati Melia?” Tiba-tiba Ari berpikiran ada hubungan di antara Melia dan Rendi.
“Tapi ahhh tak mungkin seperti itu.” Ia segera menghilangkan pikiran negatifnya.
“Hai Ar..” tepukan tepat di pundak itu membuyarkan pikirannya.
“Eh, kamu Nggun. Kamu benar-benar mengagetkanku. Sedang apa kamu di sini?”
“Ehhm, aku habis berbelanja dari Matos. Biasa shopping Ar.” Ari tak menyangka tanpa sengaja bisa bertemu dengan Anggun di sana.
“Sudah lama ya kita tak bertemu, bagaimana kabarmu sekarang? Setelah lulus kuliah kita tak ada komunikasi lagi.” Anggun bukan asli warga kota Malang, ia pendatang. Ia berasal dari luar jawa,  karena pekerjaannya ia menetap di Malang.
“Oh iya tidak enak rasanya kita ngobrol di tempat seperti ini. Ayo kita ngopi bentar di sini, Ar!” Anggun mengajak ari masuk ke mall itu namun Ari tak mau karena di sana ada Melia dan Rendi. Anggun tak tahu kalau mereka ada di sana. Dan Ari sengaja tidak memberitahunya. Karena kalau tidak, Anggun pasti akan mengajaknya untuk bergabung bersama mereka.

“Kebetulan di ujung jalan ada sebuah cafe kecil. Kita ngobrolnya di sana aja.” Ari mengajak Anggun untuk ngopi di cafe yang lain dan mereka berdua melanjutkan malam itu dengan percakapan yang panjang. Anggun merupakan teman sekampus Ari, yang juga sama dengan Melia dan Rendi. Mereka bertemu di sebuah acara kampus saat masih di bangku kuliah.  Sehingga mereka berempat saling mengenal.
………………….
Seperti biasanya Melia selalu tergesa-gesa menuju ke tempat kerjanya. Alarmnya tak pernah berhasil untuk membuatnya bangun tepat waktu. Sebagai seorang senior editor ia yang paling bertanggung jawab atas hasil publikasi yang diciptakan. Ia bertanggung jawab mulai dari administrasi, menulis dan merancang serta mendistribusikan suatu tulisan. Ia bertugas mencari naskah yang berbobot kemudian menyuntingnya menjadi naskah yang baik agar tulisan mudah dimengerti oleh pembaca.
Melia langsung mencari Anggun di ruang kerjanya. Karena ia lah teman Melia yang paling dekat di kantornya. Karena mereka sudah kenal saat mereka kuliah. Anggun yang memberi informasi lowongan pekerjaan kepada Melia sampai mereka akhirnya menjadi teman sekantor. Namun mereka di bagian yang berbeda.
“Nggun, jahat banget kamu! Kok aku tadi ndak kamu bangunin. Aku jadi telat deh tadi. Oh iya  tadi malam kamu pulang pukul berapa? Aku menunggumu sampai tertidur.” Suara Melia membrondong lantang seperti bunyi petasan saat mereka menikmati makan siang di kantin.
“Siapa bilang aku tak membangunkanmu? Aku sudah membangunkanmu berkali-kali tapi kamu hanya menjawabku dengan kata “iya” dan tidur lagi. Tadi malam aku hanya jalan-jalan di Matos belanja keperluan sehari-hari dan cari angin sebentar.” Ia menceritakan semuanya pada Melia namun  ia sengaja tak mengatakan pertemuannya dengan Rendi di cafe kemarin malam.

“Loh, kok sama. Aku  juga kemarin juga ke Matos ngopi sama Rendi. Aku tiba-tiba ingin menikmati secangkir cappuccino yang menenangkan dan menghilangkan lelah yang melanda akibat kerja seharian. Cuma ngobrol sebentar sih dan langsung kembali ke apartemen karena aku sudah ngantuk. Karena kebetulan tugasku sudah selesai jadi aku bisa tidur lebih awal. Tapi kenapa ya tetap saja aku tidak bisa bangun pagi.”
“Akh emang kamu saja yang sudah terbiasa tidak bisa bangun pagi Mel.” Goda Anggun tanpa tanggung-tanggung.
Beberapa saat kemudian ponsel Melia berbunyi. Ia segera melihat layar ponselnya. Namun ia tak segera mengangkat telepon tersebut.
“Privat number – Siapa kira-kira ini ya? Jangan-jangan teroris nih.” Kata Melia hingga akhirnya ia mengangkat telepon tersebut.
“Hallo, selamat siang. Maaf dengan siapa ini?”
“Ini Melia kan?” Nada suara itu terdengar ragu-ragu diucapkan. Melia terdiam dan berfikir sejenak. Ia sepertinya tidak asing dengan suara dari telepon itu.
***

Wednesday, November 27, 2013

Proyek Keroyokan 4

"besok jam 7 malam di tempat biasa" -send, kemudian di letakkan lagi handphone milik melia di tempat semula, setelah menghapus sms ary dan balasannya.
"ari..ari.." gumam seorang cewek yang merupakan teman satu kamar melia.
-------------------------------------
" lia, bangun lia udah jam setengah 7 ni, kamu gak kerja "
" hah , setengah 7 " seketika melia loncat dari tempat tidurnya
" aduh masa aku harus telat lagi untuk kesekian kalinya " sambil lari ke kamar mandi
" makanya jangan begadang muluu " teriak teman sekamarnya ini.
" kamu juga ngapain bangunin jam setengah 7 " balas lia
liapun terburu - buru karena memang jam masuk kantor adalah jam 7:00
beberapa menit menunggu angkot yang tak kunjung datang membuat lia semakin bingung, tak sengaja dia melihat motor ari melaju ke arah sebaliknya, di palingkan pandangannya agar tidak sampai terlihat oleh ari. Akhirnya angkot yang di tunggunya pun datang.
Tenggelam dalam lamunan membuat lia tidak sadar kalo kantornya sudah terlewat beberapa blok.
" aduh, bang bang kiri " buru buru lia keluar dari angkot.
" neng ..neng bayar dulu "
#tepok jidad
" oh ya bang maap bang, keburu - buru " sambil nyengir dan menyerahkan beberapa lembar uang.
" aduh apes banget ya hari ini, emang mimpi apa aku semalam "
Setelah sampai di kantor di hempaskan badannya ke kursi kerjanya, dan mulai berkutat dengan pekerjaannya tanpa bisa lepas dari bayangan ari.
entah perasaan apa ini, kenapa aku harus bertemu dia pagi ini.
" tuhan pertanda apa ini, aku masih percaya dengan kata " tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah di atur ", tapi apakah aku boleh berharap lagi, padahal...ah sudahlah "
Akhirnya waktunya pulang, ingin rasanya bergegas keluar dari kantor ini menuju cafe langganan yang menjual capucino, minuman lembut yang menenangkan. segera melia mengetikkan beberapa kalimat kepada rendi " ren..ngopi yuk, di tempat biasa " beberapa saat handphone melia berdering " oke.. tunggu di sana ya "
" angkot lagi angkot lagi, kapan aku bisa beli motor sendiri ya , kan enak tuh bisa kemana - mana sendiri ,gak perlu pusing nungguin angkot , belum entar ngetem, di tinggal makan ma supir..arggghh supir - supir sekrang juga kok tega banget mbiarin penumpang terkapar di dalam angkot, ya kalo lagi gak butuh cepet..lha kalo butuhnya cepet oh no.."
" kenapa neng kok mukanya bete gitu, bareng aja yuk " sebuah sepeda motor berenti di depan melia.
" rendiii.. " merasa mendapat bala bantuan melia tersenyum lebar.
----------------------
ari terlihat gusar melihat jam di tangannya sudah menunjukkan angka 19:30 dan sekali kali dia melihat layar handphonenya menunggu jawaban dari melia, beberapa sms dan telponpun di layangkan kepada melia tapi tak satupun di balasnya.
" dimana kamu "
jam 20:00
" apa maksud dia, apa yang terjadi " pikiran burukpun menghampiri ari, aripun bergegas keluar dari cafe tempat biasanya dia datang berdua dengan melia.
di tancapnya gas motor dengan sedikit tergesa - gesa sambil melihat kanan kiri, dan pandangannya jatuh ke salah satu cafe terbuka, dilihatnya melia dan rendi sedang bersenda gurau berdua.
sakit, kecewa, entah perasaan apalagi yang berkecambuk di hari ari melihat pemandangan ini, di tinggalkannya tempat itu dengan kecepatan tinggi.
----------------------
" kenapa kamu belum mau ketemu ari li "
pertanyaan itu sukses membuatnya terdiam dan pastinya jantung melia berdetak lebih cepat dari biasanya.
tak mendapat jawaban rendipun mengalihkan pembicaraannya
" melia melia kenapa kamu suka capucino ? " pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tidak penting.
" lembut, hangat, harum kayak aku " kata melia sambil tersenyum centil.
gemas dengan jawaban melia rendipun mengacak - acak rambut melia.

Tuesday, November 26, 2013

Proyek Kroyokan 3



"Setengah delapan lewat delapan menit" ucap melia dalam hati, sembari menatap layar laptop untuk melanjutkan pekerjaan yang akan mencapai deadline pukul 24.00 tepat nanti. Sejenak pikirannya melayang ke pertemuan beberapa saat lalu dengan Rendi. Mengingat ucapannya jika Ary mengharapkan sebuah pertemuan kembali dengannya.
44 menit beranjak dari pukul 7 malam dan Melia masih saja melamun di depan laptopnya. Sesuatu berkecamuk dalam batinnya, antara ingin lari dari bayangan Ary dan rasa ingin tahu keadaan mantan kekasihnya tersebut, untuk mengetahui alasan sebanarnya mengapa Ary dan dia secara tiba-tiba harus berpisah. Alasan yang sebenarnya juga ingin Melia sampaikan kepada Ary mengapa dia meninggalkannya tanpa sebab yang tidak dapat dimengerti oleh Ary.
Hampir satu jam Melia terdiam di kamarnya, di depan laptop yang sedari tadi telah dia campakkan untuk mengarungi kenangan bersama Ary. Seketika dia tersadar dari lamunannya. Udara terasa menyesakkan untuknya saat ini. "Aku butuh kafein" pikirnya. Lalu dia beranjak, menuju dapur apartemennya. Secangkir kopi hitam dengan sedikit gula dibuatnya untuk menemani hingga akhir malam ini.
Setengah jam sebelum deadline yang ditentukan, semua file telah dikirim melalui e-mail. Dan Melia pun langsung menuju tempat tidurnya, "melelahkan sekali hari ini" ujarnya.
Beberapa blok dari apartemen Melia, Ary tengah duduk di balkon rumahnya. Bertemankan kopi pahit dan alunan sendu True love waits milik Radio Head yang terputar dari perangkat audio di kamarnya pikirannya tertuju pada Melia.
Di depan semua orang Ary dapat menyembunyikan perasaannya dengan bersikap acuh dan memilih untuk menyendiri diantara buku-buku. Namun bayangan Melia tak pernah pernah bisa berhenti mengganggunya. Sosok wanita istimewa yang mengisi seluruh ruang di hatinya itu, yang lalu meninggalkannya tanpa alasan yang dapat diterima olehnya. Sosok wanita yang telah membuat luka di hati Ary dengan kepergiannya, namun tak pernah sedikitpyn Ary kehilangan rasa cintanya kepada Melia.
Pandangannya tertuju pada handphone di sebelah kursi tempatnya tengah melamun. Ingin sekali dia menghubungi Melia sekali lagi meskipun telah berpuluh kali pesan dan telponnya tak mendapat respon yang positif. Namun sekali lagi dia ragu apakah gadis pujaannya akan membalas pesannya ataukan satu kekecewaan lagi yang akan dia peroleh. Hal ini membuatnya gentar. Dengan suasana hati yang masih tak menentu dinyalakannya sebatang kretek dan dihisapkanya dalam-dalam sambil memejamkan mata. Bagaikan slide film cinta yang lama dia mengingat kembali kebahagiannya bersama Melia, perasaan tenang saat bersamanya dan keceriaan yang selalu terpancar di mata gadis pujaannya. "Oohhh lama sekali waktu berlalu sejak saat itu" gumamnya. Sambil menyisakan sebuah isapan akhir pada kretek yang singgah di jemari tangan kanannya lagi-lagi matanya tertuju pada telepon seluler disampingnya. "Aku harus menghubungi Melia!!".
"Kamu mungkin sudah terlelap saat ini, maafkan aku jika mengganggumu. Tapi hatiku masih belum tenang jika belum bertemu denganmu dan menjelaskan semua yang terjadi diantara kita.." sebuah pesan yang agak berisi kalimat putus asa dikirimnya ke Melia. Hatinya telah siap menerima satu kekecewaan lagi.
Masih di balkon rumahnya tiba-tiba dering handphone-nya berbunyi. "1 message receive" dilihatnya di layar lcd. "Besok jam 7 malam di tempat biasa". Satu pesan singkat tanpa diduga berisi jawaban dari Melia. Hatinya berdebar. Tak disangka dia akan menerima balasan dari Melia.

***

Tuesday, November 19, 2013

Proyek Kroyokan 2

Rendi mengayunkan langkahnya menghampiri Ari yang sepertinya sama sekali tidak menyadari kedatangannya.
“Hey man,” sapanya agak keras.
Ari mengangkat kepala dari buku yang sedang dibacanya.
“Pernahkah kau mendengar kisah tentang Icarus?” tiba-tiba Ari bertanya kepadanya.
Rendi hanya terbelalak heran, “Tidak, kenapa memangnya?”
“Ceritanya kurang lebih seperti ini,” sambung Ari dengan bersemangat.
Rendi hanya memutar mata, “okay, here you are …”
“Daedalus adalah seorang penemu yang sangat brilian,…”
Ketika dilihatnya Rendi mengangkat alis tanda heran, Ari buru-buru menambahkan,
“… seperti Thomas Edison pada zamannya. Sayangnya, ia membuat marah Raja Minos, penguasa pulau Kreta, dan dia harus terusir keluar dari sana. Dalam keputusasaannya untuk melarikan diri dari pulau, Daedalus menggunakan lilin untuk membentuk beberapa sayap untuk dirinya sendiri dan untuk Icarus, anaknya. Daedalus memperingatkan anaknya untuk terbang pada ketinggian menengah, karena air laut akan menyusutkan sayap mereka dan sebaliknya matahari akan mencairkan sayap mereka.”
“Dongeng anak-anak?” tanya Rendi heran.
Ari hanya menggeleng dan meneruskan ceritanya, “Icarus mengindahkan nasihat ayahnya pada awalnya, tapi kemudian kesombongan merayapinya. Dia terlalu senang karena dia bisa terbang, dia melupakan peringatan ayahnya dan terbang terlalu dekat dengan matahari. Benar saja, sayapnya meleleh dan Icarus merosot ke laut dan tenggelam oleh sisa sayap yang membebaninya. Daedalus tentu saja hancur oleh kematian anaknya, but show must go on Rend.  Daedalus tetap melanjutkan perjalanannya. Dia melanjutkan terbang ke Sisilia, dan dalam rasa dukanya untuk Icarus dia membangun sebuah kuil untuk menghormati dewa Apollo.”
Rendi menggelengkan kepala melihat Ari kembali membenamkan hidungnya ke buku yang sama, si kutu buku itu tidak pernah berubah batinnya. Tergila-gila pada buku, dengan penampilannya yang kurus, dan berkacamata, serta suka bergumam tidak jelas, orang yang tidak kenal Ari dengan baik pasti akan mengira kalau Ari itu orang aneh. Padahal Ari sama sekali tidak aneh, selain Melia, Ari adalah sahabat Rendi sejak awal mereka bertemu kelas 1 SMA. Saat itu Ari sedang digencet oleh preman-preman di kelasnya dan secara kebetulan Rendi melihat hal itu dan menyelamatkannya, sekalipun saat itu Rendi harus membayar dengan mukanya yang babak belur karena perkelahian yang tidak seimbang. Rendi menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, ia mulai mengantuk di tengah kesunyian dan desir buku yang dibaca oleh orang-orang di perpustakaan siang itu.
“Bagaimana jika Icarus mati bukan karena kesombongannya?” Tanya Ari tiba-tiba, membuat Rendi yang sudah terkantuk-kantuk kembali membuka matanya.
Ari meletakkan buku yang dibacanya, dia berpikir-pikir. Bagaimana jika kisah tentang Icarus tadi tidak sepenuhnya benar. Karena kisah yang dibacanya lebih ke Legenda yang tentu saja sudah mengalami tambal sulam dalam perjalanannya. Dalam imajinasinya, Icarus tidak mati karena terlalu sombong. Dia mati karena sesuatu yang lain, rasa penasarannya mungkin. Diliriknya kertas kosong di sampingnya dan dia mulai menulis cerita versinya.
Icarus mengindahkan nasihat ayahnya pada awalnya, tapi kemudian sesuatu terjadi, selama penerbangan ia memiringkan kepalanya dan melihat cahaya terang dari matahari. Ia merasa penasaran terhadap cahaya yang melingkupinya, cahaya yang indah sekaligus menyilaukan. Pada saat itu, Icarus menyadari, dia menginginkan cahaya itu. Tapi pada saat yang sama ia juga menyadari hal lain, bahwa cahaya yang sama akan membunuhnya!  Apa yang harus dilakukan? Ia akan hidup karena tahu dia tidak akan mendapatkan kesempatan lain untuk bisa merangkul cahaya. Atau ia harus mati dan percaya kalau cahaya itu layak diraih? Logikanya tenggelam, hatinya menang! Dia mengepakkan sayapnya ke arah matahari, cukup yakin, kemudian sayapnya meleleh, dan Icarus merosot ke laut dan tenggelam oleh sisa sayap yang membebaninya.
“Ini, coba kamu baca cerita versiku.” Ari menyodorkan kertas yang berisi tulisannya ke Rendi yang menggumam tak jelas.
“Imajinasimu terlalu tinggi, kenapa kamu tidak mengirimkan naskahmu ke salah satu penerbit? Aku yakin, kamu bisa jadi pencerita dan pendongeng yang baik.” Kata Rendi pada akhirnya sebelum mereka berpisah di depan Perpustakaan Kota Malang sore itu.
Dalam perjalanan pulang, Ari kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia kembali teringat kisah tentang Icarus yang dibacanya. Cahaya yang dilihat Icarus adalah cahaya yang menyilaukan sekaligus indah. Seperti cahaya yang selalu dia lihat di mata Melia, perempuan yang bertahun-tahun dicintainya, ketika kemudian dia menyadari kalau rasa cintanya juga perlahan-lahan menenggelamkannya. Sama seperti Icarus yang mati karena ingin merengkuh cahaya, dia pun hampir mati karena cintanya yang terlalu dalam.
Hingga terjadi salah paham antara dia dan Melia, yang menyebabkan Melia tidak pernah mau lagi berbicara dengannya, melihatnya pun tidak. Sekalipun dia berkali-kali meminta maaf dan meminta Rendi untuk menyampaikan permohonan maafnya untuk Melia, Melia tetap bergeming dengan pendiriannya.

***

Monday, November 18, 2013

Project Kroyokan 1


Perlahan ia menyesap cappuccinonya, tatapannya tak lepas memandang rintik hujan yang kini hanya tinggal gerimis saja. Sesaat kemudian ia mengambil ponsel dari dalam saku, membaca pesan singkat yang tertera disana. Satu kata, membuatnya termangu dan menghelah nafas panjang.

- Maaf -

Pengumuman yang menyatakan bahwa dirinya harus segera boarding menyadarkannya dari lamunan. Tergesa ia menghabiskan cappuccino yang mulai mendingin dan me-non aktif-kan ponselnya sebelum memasukkannya kembali ke saku.

Mungkin keputusanku untuk kembali ke Malang benar-benar tepat. Pikirnya sambil bergegas masuk ke pesawat.

* * *

"Boleh aku duduk di sini?"

"Why not, monggo, silahkan"

Derai tawa mengiringi jawabannya yang mencampur adukkan segala bahasa.

"Apa kabarmu Mel?"

"Seperti yang kamu lihat, baik!"

"Lantas bagaimana dengan yang tak dapat aku lihat?"

"Hmmm, kamu selalu begitu."

"Kamu memang tampak baik-baik saja, tetap riang dan selalu cantik!"

"Tapi..."

"Tapi tatapan matamu nggak bisa bohong Mel. Atau setidaknya tidak bisa membohongiku"

"Aku masih berusaha Ndi, tapi tak semudah yang aku bayangkan."

"Nggak ada yang bilang akan mudah Mel, tapi jangan kamu bohongi dirimu sendiri. Kenapa kamu nggak coba minta penjelasan atau apalah. Kamu pernah bilang sama aku, berjuang buat dapetin cinta, sebelum menyesal, karena kehilangan tanpa perjuangan itu rasanya lebih sakit. Dan ya, apa yang kamu katakan memang benar, tapi kenapa sekarang justru lari dari cintamu?"

"Aku pasti berjuang untuk cintaku Ndi, jika cinta itu memang pantas untuk diperjuangkan."

“Jadi…”

“Jadi tak ada lagi yang perlu dibahas Ndi. Aku mau jalani ini semua dulu, dinikmati saja walau yang harus aku nikmati adalah rasa yang tidak enak.”

Rendi terdiam, walau tatapannya sebenarnya masih menyiratkan keinginan untuk menyela, sedang Melia seakan kembali asyik dengan laptopnya. Tetapi matanya tak lagi fokus, ia hanya menghindari tatapan mata Rendi.

Berteman selama hampir separuh usianya dengan Rendi membuat Melia seakan tak bisa lagi menyembunyikan apapun dari Rendi. Semua orang mungkin melihat Melia sebagai sosok yang extrovert, ceria, selalu bersemangat, tetapi di titik tertentu Melia seakan memiliki tombol dimana ia bisa dengan mudah dapat menyaring hal-hal yang tak seharusnya ditunjukkan pada orang lain. Saat ia menjadi Melia yang begitu tertutup, dan hanya Rendi lah yang mengetahui kapan tombol itu mulai digunakan oleh Melia.

Bagi Rendi, Melia bukan hanya sekedar sahabat, Melia adalah cinta monyetnya. Mereka pernah berpacaran, walau saat itu pacaran bagi mereka adalah berangkat dan pulang sekolah bersama, makan di kantin sekolah bersama, mengerjakan tugas sekolah bersama. Hanya sebuah kebersamaan, tanpa cinta. Hingga akhirnya ketika mereka mengenal cinta, justru cinta itu terpaut pada orang lain.

Melia tak banyak berganti pacar, beberapa kali ia hanya menjomblo selama selang waktu tertentu, hingga akhirnya ia berpacaran dengan seseorang yang satu kantor dengannya, di Jakarta. Namun hubungan itu harus berakhir justru saat mereka mulai merencanakan pernikahan.

Sedang Rendi, sejak mengenal cinta dia dikenal sebagai petualang cinta. Tak ada ia menambatkan cintanya lebih dari 6 bulan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjomblo saja walau tetap banyak gadis yang selalu mau diajaknya jalan walaupun tanpa ikatan.

Setelah beberapa saat mereka hanya diam, “Mel…”

“Hmmm…” Melia tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya, jemarinyapun tetap menari seakan tak ingin diganggu.

“Ari menghubungiku.”

Sedetik setelah Rendi mengatakan kalimat singkat itu Melia langsung menghentikan kegiatannya, tetapi tetap tak melepaskan pandangannya dari layar laptop.

“Dia ingin tahu kabarmu.”

“Untuk apa?” sedikit lirih kalimat itu keluar dari bibir Melia.

“Kamu tak membalas semua pesannya, kamu tak mengangkat teleponnya.”

“Bukankah itu akan membuat semuanya lebih mudah. Benar kan Ndi?”

“Dia ingin menjelaskan semuanya Mel.”

“Kamu tahu Ndi, terkadang dengan kita tidak tahu apa-apa itu menghindarkan kita dari sakit hati. Kamu nggak inginkan aku lebih sakit, Ndi?”

Akhirnya Rendi kembali terdiam, dan Melia kembali asyik dengan kerjaannya.

Project bersama

Blog ini terbentuk sebagai bagian dari project bersama berupa tulisan 'kroyokan'.

Tulisan 'kroyokan'? Bukan kumpulan cerpen ya, ini berbeda. Mungkin ini bukan yang pertama kalinya ada, karena ada beberapa teman yang sudah melakukannya. Misal sebuah novel yang ditulis oleh dua orang, bukan berupa cerita yang berdiri sendiri-sendiri tetapi mereka menulis bersama.

Nah, untuk project kali ini-pun begitu. Tetapi disini kontributornya/penulisnya sebanyak 7 orang.

Tiap-tiap orang akan mendapat gilirannya masing-masing, dimana mereka tidak membuat cerita sendiri-sendiri melainkan melanjutkan cerita yang dibuat dari kontributor sebelumnya. :)

Semoga project ini berjalan lancar, siapa tahu ada tindak lanjutnya. Amiiiin... :)